Tulisan mantan media officer dan corporate secretary timnas, Desy Christina >>
Mungkin belum banyak yang tahu, saya sudah non-aktif menjabat National
Team Corporate Secretary sejak September 2012 dan tepatnya Desember
2012, baru secara resmi saya melayangkan surat resign kepada PSSI (dalam
bentuk e-mail langsung kepada exco timnas, sekjen pssi dan bendahara
pssi). Sejujurnya, saya sudah mulai tidak betah bekerja di sana sejak
pertengahan tahun. Saya mendapati banyak miskomunikasi selama disana
yang membuat saya selalu kesal. Mungkin akan saya runut ceritanya agar
lebih mudah dipahami.
Saya melepas jabatan media officer kira-kira pada bulan desember 2011
dan mulai menjabat corporate secretary di januari 2012, bentuknya masih
dalam Surat Keputusan. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa kerja dalam
sistem profesional, saya yang paling sering menyuarakan keberatan
dengan sistem SK. Saya kerap meminta kontrak, namun jawaban yang saya
dapat selalu, "sedang diurus". Saya bertanya kepada atasan langsung di
timnas, jawaban juga selalu sama. Ada yang aneh disini, saat kami
mengajukan nilai gaji, tidak pernah sekalipun kami dipanggil menghadap
bagian legal dan sekjen PSSI untuk mematangkan ikatan kerja dan nilai
gaji. Namun mendadak setelah menyerahkan nominal gaji yang diharapkan,
saya begitu saja mendapat transfer gaji setiap bulan. Sempat saya
bertanya, "kenapa mereka tidak memanggil untuk negosiasi?", namun
seluruh manajemen timnas juga tidak paham alasannya. Saya menerima gaji
saya setiap bulan, namun tetap cerewet menanyakan kontrak saya,
jamsostek, asuransi kesehatan dan PPH karena saya tidak puas dengan SK.
Karena mencoba memahami situasi baru (pengalihan kepengurusan di
federasi), saya selalu memaksa diri saya untuk toleran. Saya menunggu
dan menunggu sembari bekerja semaksimal mungkin. Bahkan saya dan teman
seringkali tidak libur untuk terus mengurus timnas berbagai lapisan.
Agenda timnas adalah sesuatu yang seringkali membuat saya kesal. Saya
tidak pernah paham skala prioritas PSSI dalam mengikuti turnamen biasa
dan turnamen wajib, namun rupanya semua kebijakan masih diatur secara
politis. Katakan, keikutsertaan di Palestina. Kondisi keuangan saat itu
berdarah-darah dan selanjutnya ada agenda wajib timnas. Betul bahwa kita
harus terus mengasah kemampuan dengan sebanyak mungkin beruji coba.
Namun bagaimana pengaturan skala prioritas keuangan timnas? Administrasi
pengurusan visa dan lain-lain?
Bulan Maret tepatnya adalah saat saya mulai kecewa luar biasa. Saya
ditugaskan atasan meng-handle 3 timnas yang harus melakukan TC di Jogja
bersamaan dan dalam waktu panjang, senior, U-23 dan U-17. Sudah tiba
disana, keuangan PSSI belum bisa mencairkan DP 3 hotel. Akhirnya,
berbekal negosiasi mati-matian dan karena saya ikut merasa malu jika
agenda tersebut cacat, saya negosiasi (tanpa bantuan PSSI) untuk bekerja
sama dengan 3 hotel sekaligus, katakan hotel X, Y dan Z. Sewaktu itu
saya berlandaskan informasi bagian keuangan bahwa timnas senior bisa
range harga sekian. Kala itu, hotel di Jogja teramat penuh agenda. Saya
memberanikan diri datang ke 2 hotel bintang 4, meeting dua kali, dan
saya berhasil mendapat harga dibawah range hotel bintang 3. Anggap saja,
jika seharusnya sejuta ke atas, saya berhasil menego hingga 325ribu
untuk paket kamar, 3x makan, 2x coffee break, satu set laundry, fitness
centre dan meeting room. Saya lega, dan akhirnya mengajukan ke keuangan.
Namun uang belum cair, padahal TC akan dimulai dalam waktu 3 hari ke
depan dan saya sudah harus mengirim surat panggilan ke klub. Saya datang
lagi, setengah mati negi, akhirnya dengan baik hati pihak hotel
memberikan jaminan masuk tanpa DP terlebih dahulu. Ini jarang-jarang
terjadi di dunia perhotelan. Masuk tanpa DP. Apalagi ada upgrade kamar
untuk pelatih kepala sebagai hadiah. Semua sudah berjalan. Pemain masuk,
muncul kasus baru bahwa ISL menolak melepas pemainnya, padahal saya
sudah diminta mendaftarkan nama mereka. Tarik-ulur terus terjadi
sehingga pergantian nama dan pengurusan visa pun amburadul. Misal si
pemain X konon akan datang, di batas waktu mendadak batal, atau harus
pulang, cedera, dll. Sehingga pengurusan administratif ke Palestina jadi
semakin ruwet. Apalagi mengurus ke Palestina susah dan sudah diingatkan
federasi di sana bahwa harus secepat mungkin. Sebagian belum memiliki
atau belum memperpanjang passport. Setiap ada masalahh pergantian
pemain, mendadak saya harus mereka ulang pengurusan administratif pemain
ke luar negri. Kondisi TC memang keluar masuk dan banyak kejadian tidak
diharapkan sehingga membuat list pemain membengkak. Sudah list pemain
membengkak, eh officials dan tamu juga daftarnya membengkak. Kalo
dihitung-hitung bisa mencapai 75 orang yang sudah saya daftarkan melalui
mbak Farina (ini pengurus PSSI yang baik dan memang sangat rajin).
Usaha nego untuk membuat passport cepat berhasil, eh dokumen pemain
kurang lengkap. Bolak-balik meminta dokumen (ada yg hilang, ada yg di
kampung dll) kerap terjadi. Belum masalah lapangan, pengurusan tiket
pemain dan officials keluar masuk, daftar reimburse dana, uji tanding,
kualitas makanan hotel, obat-obatan dokter, masalah laundry, sampai hal
sekecil-kecilnya menjadi tanggung jawab saya di sana seorang diri. Di
hotel lain, tim lain juga mulai seleksi pemain. Jadi saya sempat
kewalahan. Asisten saya baru datang kira-kira 3 minggu sesudahnya untuk
saya harapkan membantu saya di U-23 juga. Semua dilakukan dengan tenggat
waktu yang terbatas. Jika ada satu saja missed, maka pengolahan ulang
data harus terrjadi. Makanya saya terkadang sangat emosional jika
menonton pertandingan timnas, karena sedemikian saya tahu proses di
baliknya.
Well, saat saya sendiri dan kewalahan, mencoba fokus, saya kerap
berrtanya-tanya dalam hati, "mengapa ke Palestina harus pergi dan TC
lama padahal bisa untuk konsentrasi laga wajib?", " Mengapa kesulitan
dana tapi mengundang pejabat untuk ikut bersama rombongan?", "Mengapa
event tidak resmi digelar di luar agenda wajib memaksa pemain harus ke
Jogja padahal turnamen tengah berjalan?", "Mengapa tidak ada ketegasan
soal agenda timnas dari atasan - mana yang harusnya oke mana yang belum
sanggup untuk diikuti?". Tapi namanya juga saya cewek, bagi mereka
mungkin masih hijau, anak baru kemarin sore, jadi tidak akan didengar.
Jadi saya jalankan saja dengan berdarah-darah. Bayangkan, seringkali
mepet pengurusan visa berlangsung dengan pengurusan booking tiket dan
pengurusan akomodasi di hotel luar berjalan bersamaan. Saya dan mbak
Farina (PSSI) sudah berusaha setengah mati, ternyata dampai H-1 saja
masih ada pergantian personil. Atasan tidak mau tahu kesulitannya
seperti apa, tapi tetap minta dibawa. Toh akhirnya paham pas di Jordan
susah masuk ke Palestina kan? Mereka sudah diingatkan kami tapi keras
kepala. Belum lagi ketegasan uang saku kerap berubah. Informasi kepada
pemain menjadi simpang-siur. Siapa yang kena getahnya? Yah manajemen
yang sedang di TC, Sampai sekarang saya yakin miskomunikasi atasan dan
PSSI soal uang saku harus tidak lagi terjadi. Karena bukan mereka yang
tengah berhadapan dengan rombongan di TC.
Syukurnya pak Lamdelif (bagian keuangan timnas) dan Citra (asisten saya)
akhirnya tiba. Saya yang sudah lelah akhirnya terhibur. Mereka sangat
membantu di U-23 dan U-17 dan berdedikasi. Alhasil, saya dan mbak Farina
(juga Ariel) berhasil memberangkatkan rombongan, meski banyak masalah
terjadi. Sampai di Jordan dan Palestina pun saya dan mbak Farina masih
harus sering menelpon kesana pagi-siang-sore-malam dengan ponsel pribadi
untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di sana dengan cepat. Saya
yakin sekjen Palestina, Susan, sudah bosan dengan suara dan permintaan
tolong saya dari Indonesia. Bayangkan, sudah sampai sedemikian rupa
mengikuti kebijakan labil, saya masih didera bocoran ada yang
mengatakan, "kenapa kok 2 pemain dan manager tertahan di Jordan? Desy
dan Farina ngurusnya gimana?". Emosi, iya. Sudah dibilang harus jelas
dari sebelum-sebelumnya, tetapi memasukkan nama baru bisa H-1 dan H-2?
memangnya kami dewa? Memangnya Israel mudah di-lobby? Perlu kalian
ketahui bahwa masalah seperti ini kerap terjadi. Saya pernah menolak ke
Jepang karena waktu itu harus mengorbankan kitman (orang yang harusnya
justru berada bersama tim), tak dinyana kitman tetap berangkat
belakangan dan bermasalah. Oh well... Saya tidak pernah setuju jika
banyak pejabat ikut rombongan. Malu dengan negara lain yang efisien.
Nah, problem kekecewaan saya akarnya disitu. Setelah dari Palestina,
ternyata penyelesaian hotel tidak terurus. Saya sudah minta invoice
hotel untuk diselesaikan segera karena mereka begitu baik, tapi juga
tidak diselesaikan. Saya sampai malu kepada teman-teman pihak hotel.
Padahal, mereka begitu baik sampai ada beberapa yang menawarkan bonus
biaya hotel ke kantong pribadi saya karena membangun kerja sama (yang
tentunya saya tolak). Saya sih dapat uang cukup dari gaji dan uang saku
saja, seadanya tapi gak akan bermasalah. Mereka juga memberi diskon
terhadap PSSI, tapi juga tidak dibayar. Ini berlangsung hingga bulan
September lalu kalau tidak salah. Para orang-orang baik itu menjadi
tumbal masalah dana PSSI, dampaknya jelas jajaran petinggi mereka di
hotel menekan mereka terus-menerus. Saya turut sedih, tapi tidak bisa
bersuara lagi. Saya sangat kecewa dengan PSSI. Yng lebih buat saya
kaget, ada yang komplain dengan biaya di Jogja yang sedemikian tinggi.
Lah wong di sana 3 tim dan lebih dari sebulan. Katanya seharusnya timnas
di wisma saja. Jujur, saya sudah cari wisma kala itu untuk junior tapi
tidak ada yang kosong. Ada satu yang kosong tapi tanggalnya
bolong-bolong. Jadi timnas harus masuk-keluar di tanggal-tanggal
tertentu. Semua sudah dilakukan, tetap alasan tunggak pembayaran adalah
mahal. Saya bengong, nanya, "loh, mereka kemana saja pas nego awal? Kan
sudah disampaikan kondisinya? Lalu itu dapat hotel bintang 4, setengah
mati didiskon ampun-ampunan sampai harga paketnya di bawah 350 ribu
fullboard kok masih keberatan belakangan?.
Di Filipina (kebetulan saya ikut rombongan), juga saya pernah kesal
sekali. Saya kebetulan kenal dengan match commissioner, David di laga
wajib tersebut, dia adalah sahabat teman saya Jayric. Dia bilang kepada
saya setelah technical meeting, "Desy, Indonesia tidak akan nambah orang
di bench kan? Soalnya Indonesia sering begitu, yah saya cuman mau
mengingatkan saja...Kalau bisa tetap dengan maksimal 8", yang saya
jawab, "maafkan saya jika kondisinya sering seperti itu, tapi tidak akan
terjadi lagi". Tahunya seorang pejabat PSSI mendatangi saya besoknya
minta ID card bench untuk kedubes. Saya bilang saya usahakan di royal
box. Namun dia keukeuh minta ID bench. Sampai akhir saya nggak kasih,
tapi ternyata dia masuk ke lapangan sebelum pertandingan dimulai dan
bersama kedubes duduk di sana. Dengan segala hormat, KBRI kita Filipina
sangat membantu, namun saya bingung dengan permintaan petinggintersebut
yang bagi saya lebay. Saya saja tidak pernah mau duduk di bench.
Ngapain? Mending yang benar-benar penting membantu di lapangan. Jelas
David tidak bisa komplain setelah mereka duduk, dia hanya mendatangi
saya dan tertawa-tawa. Tapi saya malu luar biasa. Kejadian seperti ini
sering terjadi, terburuk, malah ada yang sampai bilang, "biar aja kitman
gak usah di lapangan duduknya".
Problem terbesar muncul bulan Agustus. Mendadak dari TC Jakarta, semua
manajemen diminta PSSI keluar dari hotel. Katanya pengiritan. Saya sih
setuju saja, tahunya setelah itu ternyata ada kabar mereka mencurigai
manajemen timnas soal penggelapan dana. Saya tidak tahu siapa dan
mengapa ataukah benar atau tidak, yang jelas, setelah manajemen mendadak
dibekukan, saya ngotot terus bertanya-tanya ke semua orang. Tetapi
tidak ada jawaban. Saya kesal, akhirnya saya mendatangi teman saya di EO
bola, untuk bertanya, "apakah benar ada manajemen bermain dengan uang?
Bukannya selama ini urusan selalu ke PSSI dulu?". Saya minta data, saya
minta bukti, karena jika memang manajemen timnas ada yang melakukan itu,
saya akan jadi ikut terseret rasa malu. Memang terkadang di lapangan
kami meminta A, B atau C kepada EO, katakan, kami butuh makanan
tambahan, tiket ke garuda, atau aqua tambahan, semuanya untuk proses TC
pemain tapi tidak pernah soal uang. Ada perbedaan budget yang saya
lihat di EO, tetapi itu mungkin kebijakan PSSI mengatur kelebihan dana
untuk hal-hal yang tidak mau saya campuri tetapi masuk akal. Namun saya
kaget luar biasa seputar rumor tersebut. Setelah nanya sana-sini dan
memang tidak ada bukti aneh, akhirnya isu tersebut hilang sendiri.
Problem berganti ke soal gaji manajemen. Katanya tidak ada persetujuan
dari awal. Lah? Gimana? Kok dicairkan setiap bulan? Siapa yang tanda
tangan di PSSI? Lalu muncul alasan sekjen lama dll. Saya sih nggak mau
ambil pusing, saya pikir itu adalah alasan yang teramat bodoh dan tidak
masuk akal. Dan betapa kagetnya saya ketika mendapat memo pemotongan
gaji hingga hampir 80% tanpa memanggil sama sekali. Saya utarakan
keberatan kepada atasan dan juga sekjen baru (via e-mail) tidak mendapat
jawaban. Saya kesal, tapi saya katakan bahwa jika ada pemotongan gaji
saya tidak akan protes karena pelatih juga mengalaminya. Tapi kalau 80%
dan tidak ada pemanggilan, saya keberatan. Itu adalah hal terendah yang
bisa dilakukan sebuah perusahaan, organisasi atau apapun yang berkedok
profesional. Jelas sebagian besar manajemen menolak. Apalagi saya, gaji
awal saya saja tidak segitu, tapi kami tetap terus meeting (kalangan
manajemen). Saya tetap ngotot ke atasan minta dipertemukan dengan PSSI.
Tetapi sampai sekarang hanya pihak atasan yang saling bertemu jadi saya
tetap tidak jelas ada apa di sana. Saya sms beberpa petinggi PSSI,
dijawab "masih nunggu rapat". Saya masih toleran untuk emnunggu jawaban.
Tetapi ternyata sudah dipotong pun gaji saya cuman keluar 2 bulan
sebelum pemotongan dan nominalnya sudah berubah. Saya terima dan bilang,
"saya tetap mau gaji sebelum SK pemotongan dicairkan sebelum nominal
awal". Tidak ada respons, malah semua manajemen gajinya ditunggak
berbulan-bulan, dan mendadak tidak dilibatkan dengan kegiatan apapun.
Saya kesal dan punya batas toleransi. Saya bilang ke atasan saya, saya
akan keluar. I don't f*cking care, begitu istilahnya. Namun saya
mendapat info bahwa akan dirapatkan ulang. Namun sudah berbulan-bulan
(kebetulan saya sibuk dengan hal lain sementara ini diurus), saya
mendapat telepon dari teman manajemen, bahwa mereka akan kembali
menghidupkan BTN. Kita masing-masing ditanya ekspektasi gaji. Saya
timbang-timbang, saya pikir-pikir.....setelah mengalami diinjak-injak
seperti itu, saya putuskan malah saya tidak mau kembali. Teman-teman
masih bertahan dan hingga sekarang saya tidak tahu nasibnya. Saya
sendirian sih tegas memutuskan keluar, dan meminta gaji saya semuanya
diselesaikan. Saya bilang ke teman-teman, saya merasa kayak
dilempar-lempar, tidak dihargai, dan malah ketemu saja tidak mau. Jadi
buat apa saya bertahan? Big NO. Tetapi meski sampai saya bersikeras
memutuskan keluar, gaji saya tetap belum diselesaikan. Sms bendahara,
beberapa kali dijawab, beberapa kali tidak. Meminta ketemu juga
diabaikan. Akhirnya saya mati rasa. Ditawarkan teman bawa ke hukum, saya
sudah malas dan akhirnya memutuskan, "saya nggak butuh mereka lagi".
Saya tahu teman-teman masih ingin di sana dan menghargai keputusan
mereka. Saya sendiri memutuskan untuk move on. Saya juga tidak mau
masalah ini dimanfaatkan pihak lain untuk lebih gontok-gontokan. Coba
lihat saja, mereka semua lebih fokus untuk menang dan aman dari segi
politis. PSSI dan KPSI sama-sama sibuk berjuang untuk perkara keabsahan
federasi, lupa bahwa banyak pemain belum digaji, sistem belum sepenuhnya
benar, dan masalah internal belum selesai. Kalau saya perhatikan
ucapan-ucapan di sosial media, mereka kerap bicara seputar pihak
federasi saingan. Mengejek, menuduh konspirasi, menyangkut pautkan
segalanya kepada musuh, tetapi tidak mau memandang kasus internal.
Mereka lupa bahwa inti awalnya adalah perubahan sistem internal baru
menuju prestasi. Mereka benar-benar lupa dan sibuk dengan perkara
politis. Orang seperti ini bisa dilihat dari tipikal mereka berbicara di
sosial media, lebih banyak membela diri atau menyerang lawan, padahal
mungkin aturan tim ke luar, bench, rules pertandingan saja belum tentu
tahu.
Jujur, ada yang baru-baru ini menawarkan kembali, either ke A atau B
(sekiataran mereka lah), tetapi saya tolak dan berpikir, saya mending
jadi penonton bola seperti dulu dibanding kerja di dalamnya dengan
orang-orang yang berat untuk saya percayai lagi. Lebih baik saya
selamanya duduk di bangku penonton dan mendukung timnas, dibanding saya
berada di bagian dalamnya tetapi saya tidak bahagia. Saya sih tidak akan
melunturkan dukungan terhadap timnas, saya pernah bilang kan bahwa itu
milik semua. Tetapi bekerja di dalamnya mungkin tidak lagi. Mendukung
orang-orang sebelah, jelas tidak. Saya sudah banyak dengar juga tentang
mereka. Saya menulis inipun bukan karena kesal masalah gaji atau apapun
dengan PSSI, saya sekarang sudah hidup lebih tenang kok. Tapi hanya
berbagi sebuah pengalaman berharga saya. I want to fall in love with
football once again, keringatan ke GBK, teriak-teriak, dan ketawa-ketawa
dengan teman. Itu sepertinya lebih sehat untuk saya. Mungkin saya bisa
dikatakan gagal, saya mohon maaf untuk itu. Namun saya tetap berharap,
ke depannya semua akan lebih baik, entah dengan solusi apa. Kasihan juga
mendengar banyak pemain dan officials berbulan-bulan belum digaji
sementara mata pencaharian mereka hanya di bola, berbeda dengan yang
lain. Semoga ini bisa dibenahi secepatnya. Jika semua persoalan sudah
selesai, mungkin mereka akan bermain tanpa beban kehidupan, dan pihak
lain bisa mengembangkan strategi serta teknologi untuk membantu.
Seharusnya seperti itu.
Well, goodbye PSSI, but i will always support our national team. Always will.....
~desyc 2013~
sumber
Home »
Sepakbola Indonesia
» Sekilas Masa Di Timnas Indonesia
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !