Headlines News :
Home » , » Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Three

Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Three

Written By Japrax on Senin, 18 Maret 2013 | 18.52

CHAPTER THREE

¡Viva el fútbol!


¡Genio! ¡Genio! ¡Genio! ta-ta-ta-ta-ta-ta… Goooooool… Gooooool… ¡Quiero llorar! ¡Dios Santo, viva el fútbol! ¡Golaaaaaaazooooooo! ¡Diegooooooool! ¡Maradona! Es para llorar, perdónenme…

Victor Hugo Morales


Buenos Aires, 22 Juni 1986. Rumah keluarga Zanetti penuh suara gemuruh sorak-sorai. Ibu saya, Violeta, tidak tahu lagi bagaimana harus bertahan di tengah 6 orang anak-anak yang semuanya mengenakan scarf Argentina di leher. Kami duduk di depan televisi, dengan posisi seperti barisan sebuah tim sepakbola. Di belakang, duduk di atas kursi panjang, ada ibu dan ayah saya, Ignacio Rodolfo—yang sering sekali berekspresi seperti orang kesurupan ketika sedang menyaksikan sebuah pertandingan penting—dan kakak saya, Sergio. Di depan, dengan posisi jongkok dan berbaring di lantai ada teman-teman sepermainan saya, di mana kami bertumbuh bersama dalam sepakbola dan sebagai sahabat : Cacho, Luis, Zurdo, Cristian, dan saya. Kami semua mengenakan atribut Biancazzurro lengkap dari kepala sampai kaki.

Pertandingan penting ini disiarkan oleh Mondovisione. Pertandingan ini pasti akan dibicarakan orang selama beberapa hari : di bar, di pertokoan, di halaman rumah, di pasar.

Hanya satu hal yang ada di pikiran kami orang Argentina saat itu : kalahkan Inggris!! Sedangkan pertandingan yang lain dianggap tidak penting dan membosankan. Argentina-Inggris bukanlah pertandingan biasa : ini adalah hari di mana kami akan membuat perhitungan, membalas tindakan tidak pantas yang terjadi empat tahun yang lalu. Kenangan dari War of Malvinas Islands yang sarat dengan kematian itu masih sangat jelas ada di dalam ingatan kami. Orang Inggris adalah musuh, tapi sekarang, kami dapat mengandalkan si kekar berrambut keriting dengan nomor 10 di punggungnya : El Pibe Del Oro, si anak emas, Diego Armando Maradona. Dia mengembalikan harapan kami.

iVamos Argentina, vamos!” adalah bagian refrain yang berkumandang dengan sangat meriah dari setiap rumah ketika wasit meniup peluit awal dimulainya pertandingan. Ada perasaan cemas lalu kamu berteriak, kamu bersorak. Rasanya seolah-olah ada jutaan orang Argentina di Stadion Aztecam Meksiko. Kami mengikuti komentator televisi dengan sangat serius, setiap kata dari Victor Hugo Morales—komentator resmi dari timnas Argentina—menggambarkan dengan jelas setiap kejadian yang terjadi di lapangan. Babak pertama berakhir dengan kedudukan 0-0, namun hasil tersebut segera berubah ketika babak kedua baru saja berjalan beberapa menit.

Orang-orang yang hanya menganggap bahwa sepakbola tidak lebih dari 22 laki-laki muda berlari sambil menendang bola, pasti tidak pernah menyaksikan moment seperti pertandingan di bulan Juni sore hari ini. Dalam beberapa menit, 51 sampai 55, Argentina seperti berada di surga. Ini adalah pembalasan kami. Ketika Diego mengelabui kiper Inggris, Peter Shilton, dia menyentuh bola dengan tangannya, dan kami semua dibebaskan dari belenggu mimpi buruk. Tangan Tuhan : penghinaan yang menyakitkan untuk Inggris, namun bagi kami itu adalah balas dendam yang pantas untuk pelanggaran yang pernah terjadi terhadap Malvinas. Setelah kedudukan 1-0, bola kembali berada di tengah lapangan. Tidak ada waktu untuk kami kembali duduk di lantai setelah selebrasi gila itu, dan kejadian si “tangan Tuhan”—seperti yang ditulis oleh Osvaldo Soriano—secara pasti menjadi mitos bagi kami orang Argentina. Diego mulai berlari dari tengah lapangan, menggiring bola melewati pemain belakang Inggris, mengecoh Shilton dan 2-0 !!! Semua orang di rumah saya menggila, kami luar biasa bahagia. Dan gol dari Maradona, gol paling indah dalam sejarah sepakbola, layak untuk mendapat penghargaan sebagai salah satu pertunjukkan seni yang indah di atas lapangan hijau. Entah sudah berapa kali saya menyaksikan pertandingan itu, dan berapa kali saya juga memimpikan untuk bisa menjadi bagian dari kejadian yang serupa : berlari melewati semua pemain, melompati kiper sampai akhirnya menyarangkan bola di dalam gawang. “¿De qué planeta viniste? ¡Para dejar en el ingles fireplace so! ¡Para que sea el país a apretado Puno, integrity por Argentina! … Argentina 2 – Inglaterra 0.” Berasal dari planet manakah sehingga kamu dapat mengalahkan Inggris? Karena sambil mengepalkan tangan, kami semua meneriakkan : Argentina 2, Inggris 0 !!!! Komentar Morales tersebut menjadi tema untuk beberapa tahun itu.

Setelah mengalami masa-masa suram, ketika bagi orang Argentina rasanya sulit sekali untuk meninggalkan rumah, Argentina menemukan kembali jalan menuju kebahagiaan. Pencapaian Presiden Raul Alfonsin pada tahun 1983 memulihkan kepercayaan diri negara kami, dan sepakbola berperan sebagai kunci pemulihan tersebut setelah tahun-tahun yang sulit karena kepemimpinan diktator. Pada tahun 1978, selama masa rezim totalitarian, memenangkan Piala Dunia adalah sebuah anugerah bagi kami semua. Saat itu saya masih kecil, tapi saya ingat betul selama beberapa hari itu setiap orang merasa lebih bahagia : terima kasih kepada sepakbola, karenamu kami dapat sejenak melupakan bermacam-macam masalah yang menghimpit kami. Kemenangan tahun 1986, selain merupakan awal dimulainya regenerasi, juga menjadi puncak kebahagiaan kami semua orang Argentina. Demokrasi akhirnya kembali setelah tiga tahun lamanya, dan Maradona adalah orang yang mampu merekatkan kembali hubungan antara satu orang dengan yang lain. Dieguito menjadi simbol kehidupan dan keselarasan, gambaran dari suatu negara yang selama bertahun-tahun harus menanggung penderitaan dan penganiayaan namun akhirnya mampu membebaskan diri dan mengembalikan kemerdekaan yang telah lama hilang.

Perayaan kemenangan atas Inggris berlangsung selama berminggu-minggu. Ketika mengetahui Argentina menang, tidak ada seorangpun yang mau berangkat bekerja keesokan harinya. Hari itu menjadi hari libur nasional, bahkan El Pais, surat kabar terbesar di Argentina, ikut menghentikan aktivitas kerja. Orang Argentina memang seperti itu, semangat kami sangat menggebu-gebu, dan kami mau melakukan apapun untuk kejayaan negara kami. Setelah kesuksesan mengatasi Inggris, Buenos Aires berubah menjadi lautan massa : kumpulan orang yang bersatu karena alasan yang sama, dan segala terima kasih untuk si rambut keriting yang telah mencetak dua gol yang akan selalu diingat dalam sejarah sepakbola. Namun kenangan yang terbaik adalah kemenangan puncak 3-2 atas Jerman yang saat itu dibela oleh Matthaus, dengan gol penentu dicetak oleh bintang Independiente, Jorge Burruchaga. Malam itu kami pergi merayakan kemenangan di Obelisk (sebuah monument di Buenos Aires) : semua orang Buenos Aires ada di sana. Anak-anak, orang dewasa, kakek-nenek, ibu rumah tangga, semuanya. Semua orang berada dalam suasana gegap gempita, mobil-mobil dihiasi dengan warna biru putih, kaos dengan nomor 10 menjamur di mana-mana, kembang api, komidi putar. Hari itu bahkan lebih meriah dari hari libur nasional lainnya : ini adalah kebebasan dan dimulainya era baru bagi Argentina.

Selama beberapa minggu radio, televisi, surat kabar terus menerus mengabarkan kemenangan itu, seolah-olah waktu sedang berhenti. Kekuatan sepakbola. Saya masih ingat ketika di jalan orang-orang meneriakkan : “¡Campeones!” dalam lautan antusiasme yang menjangkiti semua orang, miskin dan kaya, karyawan dan guru, pegawai pelabuhan sampai buruh.

Dan saya, di suatu malam, bermimpi. Saya bermimpi ingin menjadi Diego, menggiring bola melalui semua pemain lawan, melompati kiper dan mencetak gol, lalu orang-orang mengelu-elukan nama saya. Saya memimpikannya selama dua tahun, sampai akhirnya saya mendapati jalan buntu bagi karir saya. Ketika masih berumur 15 tahun, setelah berhasil merasakan bermain untuk Independiente junior, tim favorit saya, saya mendapati diri saya berjalan keluar. Ditolak. Dibuang. Dieliminasi. Tidak ada harapan bagi saya untuk menjadi bagian di antara bintang-bintang divisi satu liga Argentina. Alasannya : “Anak laki-laki ini terlalu lemah, terlalu kecil, terlalu rapuh. Dia tidak memiliki harapan yang bagus untuk berkarir sebagai pemain sepakbola.” Saya tidak mau lagi bermain sepakbola selama setahun, bahkan hanya sekedar untuk bersenang-senang dengan teman-teman pun tidak saya lakukan.

* * *

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jangan Lupa Follow Us Interisti

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Inter Milan Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger