Headlines News :
Home » , » Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Two: Early Signs

Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Two: Early Signs

Written By Japrax on Senin, 18 Maret 2013 | 17.23

CHAPTER TWO

INTER : PERTANDA AWAL (EARLY SIGNS)

Cerita saya bersama Inter sudah dimulai jauh sebelum sekarang.

Saya hanya seorang anak sama seperti anak kecil lain pada umumnya, dan bagi saya, sepakbola berarti Kempes, Passarella, Fillol, Bertoni, Tarantini, dan Ardiles. Mereka adalah pahlawan Argentina di Piala Dunia 1978. Diego Maradona, jelas dia adalah talenta baru bagi dunia sepakbola Argentina. Namun, bagi Luis Menotti, pelatih tim nasional saat itu, Maradona masih terlalu muda untuk mengenakan seragam La Camiesta Albiceleste.

Sepakbola, pada masa itu, bagi saya adalah identitas diri, khususnya bersama Independiente, tim yang saya dan keluarga sangat gemari dengan luar biasa. Mengenai DNA, kami tinggal di Dock South (dock = dermaga), salah satu daerah pinggiran Avellaneda propinsi Buenos Aires. Bagi kami penduduk sana, sepakbola adalah satu-satunya hal yang dapat membuat hati kami bahagia, keluar dari segala penderitaan dan kesedihan hidup yang ada. Segala sesuatunya tergantung kepadamu, apakah akan menjadi fans klub Racing atau menggilai Los Diabolos Rojos, si setan merah, Independiente. Memang ada beberapa kelompok orang yang lebih memilih mendukung tim-tim besar, seperti Boca Junior atau River Plate, namun jumlah mereka hanya sedikit. Saya jatuh cinta pada Independiente entah tanpa alasan yang jelas, seolah-olah saya memang terlahir untuk menjadi pendukung Independiente. Kamu tidak memilih suatu tim, kamu sudah mencintainya sejak awal, tanpa syarat, tanpa kata ‘jika’ atau ‘tapi’. Jadi, sebelum benar-benar dapat memahami alasannya, saya mendapati diri saya sedang sangat mengidolakan Ricardo Bochini, Antonio Alzamendi, dan Jorge Burrucha.

Saya lahir pada tahun 70-an, dan pada dekade tersebut, Independiente menjadi tim yang dapat memenangkan segala kompetisi. Championships, Libertadores, Intercontinental. Walaupun begitu, ada dua pertandingan yang tidak dapat dimenangkan oleh tim yang sudah mengoleksi begitu banyak trofi itu. Dua pertandingan berturut-turut yang sulit untuk kami lupakan. Pada tahun 1964 dan 1965, Independiente berhasil mencapai final kompetisi Piala Intercontinental, keduanya melawan Inter ketika masa La Grande bersama Herrera, Facchetti, Corso, dan Mazzola, dan Inter berhasil menjuarai semuanya.

Meskipun saya tidak menyaksikan sendiri dua pertandingan itu, orang-orang terus membicarakannya selama bertahun-tahun, termasuk ayah dan kakek saya. Kekalahan dua kali berturut-turut dari klub Italia, ditambah lagi ada seorang Argentina di sana, Helenio Herrera, rasanya sangat menyesakkan, sulit untuk ditrerima. Saat itulah saya pertama kali mengenal Inter, sebuah tim yang dianggap sebagai musuh, tim yang menghancurkan mimpi kami di level internasional. Bagaimanapun, animo kebencian pada saat itu tetap menyisakan ruang bagi sebuah rasa hormat. Hanya Inter, tim yang mampu mengalahkan Independiente dua kali berturut-turut. Sungguh sesuatu yang jarang terjadi pada masa itu.

Untuk beberapa waktu lamanya, Inter hanyalah sebuah nama, layaknya hantu yang hanya melayang-layang di pikiran kami sebagai anak-anak. Pada saat itu, televisi tidak menyiarkan liga Italia, jadi kompetisi tersebut hanya sebatas fantasi bagi kami. Saya hanya mengetahui sedikit hal tentang Inter. Saya melihat beberapa foto di sana sini, dan saya sungguh dibuat terheran oleh San Siro, sebuah stadion yang sangat mengesankan sampai-sampai saya takut ketika melihatnya. Dan sekarang, stadion ini menjadi rumah kedua bagi saya.

Pada pertengahan tahun 80-an, akhirnya televisi mulai menyiarkan kompetisi liga Italia, walaupun hanya sedikit pertandingan yang ditayangkan. Semua berkat transfer Diego Maradona ke Napoli. Terima kasih pada El Pibe del Oro, karenanya Serie A menjadi salah satu kompetisi asing yang paling banyak diikuti di Argentina. Banyak di antara kami yang akhirnya membagi dukungan pada klub-klub lokal dengan Napoli. Napoli menjadi klub yang paling dicintai orang Argentina, karena pada tahun-tahun sebelumnya mereka juga membawa bintang Independiente, Daniel Bertoni. Inter juga mengalami kejayaan yang sama, melihat bagaimana Passarella, kapten timnas Argentina ketika menjadi juara dunia tahun 1978 juga bermain di sana. Di South Dock, kondisi seperti ini (kejayaan Inter) menjadi hal yang sangat menyebalkan bagi fans-fans fanatik dari Los Diabos Rojos. Bagi fans fanatik Independiente, Inter adalah sebuah klub yang arogan, lancang, dan sok berkuasa. Namun sekarang, saya menyadari kalau itu semua hanyalah penilaian yang salah. Saya memiliki keterikatan pada klub yang saya cintai. Cerita tentang Inter dan Independiente berjalan secara beriringan. Kedua tim itu terbentuk pada awal tahun 1900-an. Independiente dibentuk oleh para asisten toko yang marah karena tidak dimasukkan dalam kelompok pedagang, sehingga memberi nama “Independiente” (kebebasan). Inter dibentuk pada 1908, tiga tahun setelah Independiente, oleh 40 penentang Milan, yang tidak setuju dengan peraturan larangan bagi pemain asing untuk bermain di klub. Kedua semangat itulah yang tidak pernah surut dan selalu menjadi filosofi bagi kedua tim. Mereka adalah 2 tim yang sama : kuat, bermental juara, dengan sedikit kegilaan dan tidak dapat diprediksi.

Seiring dengan berjalannya waktu, simpati saya kepada klub hitam biru semakin bertambah, namun belum sampai pada level mencintai. Ketika sepakbola hampir menjadi bagian paling penting dalam hidup saya—bukan hanya sekedar hiburan—seorang pemain yang sangat saya idolakan datang ke Inter : Lothar Matthaeus, benteng kuat Jerman yang mampu mengubah hasil dan jalannya pertandingan sesuai dengan keinginannya. Seorang pemimpin yang tidak pernah menyerah. Bergomi mengatakan, “Jika Lothar ingin memenangkan suatu pertandingan, kami akan memenangkan pertandingan itu.” Namanya mulai dibicarakan di Argentina pada tahun 1986, ketika dia begitu ketat menjaga Maradona pada Piala Dunia Meksiko 1986 sehingga Argentina hanya menjadi runner up. Pada akhir tahun era 1980-an, ketika saya masih sebagai seorang remaja yang bermimpi untuk menjadi pesepakbola professional, Matthaeus dan Maradona adalah pemain utama yang mewakili Inter dan Napoli, dua tim yang paling sering bersaing untuk mendapatkan gelar Scudetto. Orang-orang jelas banyak yang lebih mendukung Diego. Bagi kami orang Argentina, dia masih seperti dewa sampai saat ini. Begitu juga dengan saya, seperti yang lain yang begitu menggilai Maradona, saya tidak dapat menutupi kalau saya juga mengagumi Matthaeus. Dari Matthaeus, saya melihat gambaran diri saya. Saya ingin menjadi sosok pemain seperti Matthaeus, seorang pemimpin.

Sungguh berkat Matthaeus, secara diam-diam, saya mulai menjadi Interista

* * *

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jangan Lupa Follow Us Interisti

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Inter Milan Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger