Headlines News :
Home » , » Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Four

Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Four

Written By Japrax on Senin, 18 Maret 2013 | 21.22

CHAPTER FOUR

Building a house, contracting a future

MEMBANGUN SEBUAH RUMAH, MENATA SEBUAH MASA DEPAN

Ketika kecil, saya bermain seperti anak-anak pada umumnya, suka memukul lampu dan beberapa perabot rumah, sampai membuat ibu saya putus asa, tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menghentikan kenakalan saya. Kehidupan saya sangat diinspirasi oleh Sergio, kakak saya : dia adalah seorang anak yang berbakat, dengan bola berada di antara kedua kakinya, dia dapat melakukan hal yang hebat untuk ukuran anak seusianya saat itu. Hal yang menjadi masalah adalah, kami tidak mempunyai tempat yang permanen untuk bermain sepakbola. Ada dua pilihan waktu itu : kamu tetap tinggal di rumah dan menuruti semua peraturan orang tua, atau pergi bermain ke jalan. Setiap tempat dapat kami gunakan untuk bermain sepakbola, meskipun sebenarnya saat itu bukan waktu yang tepat untuk berkeliaran di luar rumah. Dimulainya masa pemerintahan diktator pada tahun 1976, hanya ada sedikit alasan yang dapat membuat kami bahagia. Saya tumbuh dalam kondisi yang suram tersebut, di tengah-tengah rasa takut. Saya masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti itu, tapi saya merasakan ada yang salah dengan keadaan di sekitar saya. Bukan hal yang wajar kalau ada seorang ibu yang mengijinkan anaknya pergi keluar rumah dengan bebas. Setiap hari penuh dengan kegelisahan, ketakutan akan adanya penyerangan sehingga tidak dapat untuk bertahan sampai akhir bulan. Saya melihat orang tua saya berjuang begitu keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami tidak kaya, tapi kami tidak pernah kehilangan hal-hal dasar mengenai kehidupan. Ayah saya bangun jam 5 pagi setiap hari lalu pergi bekerja ke tempat konstruksi bangunan. Pekerjaan ayah saya adalah : tukang batu, pekerjaan yang mungkin akan saya jalani seumur hidup apabila saya hanya mendengarkan orang-orang yang meremehkan kemampuan bermain sepakbola saya. Dan untuk beberapa waktu lamanya, saya juga adalah seorang tukang batu. Ketika berumur 12 tahun, saya mulai membantu ayah saya. Hal-hal sederhana yang saya lakukan : mengaduk semen, membawa batu-bata, dan melakukan penyelesaian akhir di beberapa bagian bangunan.

Saya menyukai pekerjaan ayah saya, sesuatu yang praktis dan berguna. Membangun rumah—ketika hal tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang sepele—juga berarti membangun masa depan bagi banyak orang. “Proses Membangun Rumah” akan tetap menjadi filosofi dasar bagi hidup saya : memulai dari bawah sampai akhirnya mencapai posisi tertinggi. Kita memulainya dari tanah, lalu beralih kepada tumpukan batu bata, membangun dinding, dan akhirnya mencapai bagian atap. Ideologi inilah yang mendasari Pupi Foundation, sebuah yayasan sosial yang saya dan Paula dirikan untuk memberikan dukungan dan perlindungan bagi anak-anak miskin di daerah Lanus, salah satu daerah paling memprihatinkan di Buenos Aires. Anak-anak adalah dasar kami, dan jika kamu ingin membangun rumah yang kuat, kamu perlu memulainya dari mereka.

Ini adalah pelajaran pertama yang ayah berikan pada saya. Ketika kami masih menjadi anak sekolah, di bawah masa kediktatoran, di South Dock tidak ada lapangan sebagai tempat untuk kami dapat bermain sepakbola. Kami coba memposisikan diri semampu kami. Tapi rasa lapar kami kepada sepakbola terlalu besar. Di dekat rumah kami ada satu lahan kosong yang luas, lalu mengapa itu tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebuah taman bermain di mana di dalamnya terdapat sebuah lapangan sepakbola? Ide tersebut muncul dari ayah saya, dan kemudian akhirnya menjadi kenyataan. Dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, serta pengalamannya yang kuat sebagai seorang tukang batu, ayah—dengan dibantu oleh orang tua yang lain—mewujudnyatakan mimpi kami. Sebuah lapangan sepakbola baru, yang berjarak sangat dekat dengan rumah. Akhirnya, anak-anak memiliki rumah bagi pilihan kami.
Dan di atas lapangan yang terdiri dari rumput serta pasir, semua ini dimulai.

Kami menghabiskan hampir seluruh masa kecil kami di sana. Setiap hari, sepanjang hari. Pertandingan yang tidak terbatas dengan kecepatan luar biasa. Kami membentuk tim sepakbola pertama kami, pasukan kecil dari Dock Sud : The Disneyland. Sebuah nama, sebuah rencana. Maradona tumbuh bersama Los Cebollitas (sebuah klub junior di Argentina), yang berarti “the little onions”. Sedangkan saya, berada di tim pahlawan dunia film kartun. Kami, orang Argentina, memiliki imajinasi yang bagus apabila berbicara mengenai nama. Berkat kompetisi ini, anak-anak tidak lagi bermain di jalanan, dan kehidupan bertetangga kami menjadi semakin kuat. Di setiap pertandingan selalu saja ada alasan untuk merayakan : para ibu datang untuk menonton, membawa Alfajore, kue khas Argentina, dan bagi kami, dunia berputar di atas lapangan itu, seperti luncuran peluru dari mimpi-mimpi kami.

Pada masa itu, ada satu memori yang akan selalu diingat melebihi hal-hal lainnya, salah satu hal terbaik dalam hidup saya. Ini akan terdengar seperti cerita dalam buku Cuore (judul buku cerita anak-anak), namun semuanya memang benar adanya. Satu hari, hanya satu minggu sebelum pertandingan final yang akan memberikan kami gelar juara liga, sepatu sepakbola saya rusak. Bukan hanya sobek atau ada lubang kecil : sepatu saya robek mulai dari depan sampai belakang. Sangat tidak mungkin sepatu itu dapat diperbaiki kembali menjadi seperti baru. Dan di rumah, kami tidak memiliki cukup uang untuk membeli sepasang sepatu baru. Saya merasa sangat putus asa. Bagi saya, pertandingan nanti, berarti segalanya. Namun tanpa sepatu, apa yang bisa saya perbuat? Saya sudah pesimis tidak akan akan bisa bermain di pertandingan final. Tidak ada orang yang bisa meminjami saya sepatu, karena pada saat itu sepatu menjadi barang yang sangat berharga. Namun, lalu, ada keajaiban ! Suatu hari saya pulang ke rumah dan ayah muncul persis di hadapan saya membawa sepasang sepatu di tangannya. Sepatu yang sama dengan yang selalu saya gunakan, namun dengan satu perbedaan kecil namun begitu penting, seluruh bagian yang sobek telah dijahit !! Ayah telah memperbaiki sepatu saya, dengan jarum dan benang, serta rela mengorbankan waktu berkerjanya.

Petualangan bersama The Disneyland tidak berlangsung lama. Selama bermain sepakbola, kami menunjukkan permainan yang bagus, sehingga suatu hari beberapa orang dari Independiente datang mengetuk pintu rumah saya. “Maukah kamu datang dan ikut bermain bersama kami?” Bayangkan betapa bahagianya saya saat itu. Saya akan menjadi bagian dari Setan Merah, mimpi saya menjadi nyata ! Selama tujuh tahun saya dengan penuh semangat mendukung Independiente, dengan sepenuh hati saya. Saat itu, tahun 1983, saya diresmikan sebagai pemain di Doble Visera, stadion milik Independiente yang terletak berlawanan dengan stadion milik klub Racing : hanya terpisah beberapa ratus meter, namun keduanya adalah dunia yang berbeda. Pertandingan pertama saya adalah pada turnamen Copa Libertadores. Independiente melawan klub dari Paraguay, Olimpia. Itu menjadi pertandingan yang hebat, kami berhasil memenangkannya. Di lapangan juga ada El Bocha, Ricardo Bochini, pemain yang sangat saya idolakan. Saya begitu dipenuhi dengan rasa bangga. Namun, mimpi saya untuk mengikuti jejak Bochini hanya berlangsung dalam waktu yang begitu singkat. Satu hari, saya menerima sebuah berita yang mengakibatkan kemunduran terbesar dalam karir sepakbola saya. Para manajer dan teknisi Independiente merasa bahwa pada kenyataanya, saya ini terlalu kecil secara fisik untuk melanjutkan petualangan sepakbola. Saat itu saya berumur 15 tahun. Mimpi saya hancur, semua harapan saya hilang, saya berhenti bermain sepakbola selama setahun, dan seolah-olah sepakbola sudah hilang dari kehidupan saya. Saya begitu kecewa, sedih, dan hampir sama sekali tidak dapat dihibur.

Selama setahun saya bekerja dan sekolah. Tapi jauh di dalam diri saya, saya terus mencoba membangkitkan semangat untuk bermain sepakbola lagi di lapangan, meskipun pada akhirnya selalu gagal. Dan sekali lagi, ayah  membawa saya keluar dari masalah. Pada hari ketika saya pergi bekerja bersamanya, selama makan siang kami membicarakan mengenai banyak hal, ini dan itu. Dia lalu bertanya pada saya, “Javi, kamu sebenarnya ingin menjadi apa? Apa kamu benar-benar serius memutuskan untuk berhenti bermain sepakbola? Lihatlah orang-orang di sekelilingmu yang percaya kamu memiliki kemampuan yang bagus, kamu dapat melakukannya. Kalau memang tidak berhasil di Independiente, mengapa tidak mencoba di tempat lain?

Kata-kata ayah tadi selalu memenuhi pikiran saya selama berminggu-minggu. Dan pada akhirnya, saya yakin. Buenos Aires adalah kota yang besar, tidak hanya ada Independiente. Saya akan mencoba untuk menemukan klub yang lain.

* * *

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jangan Lupa Follow Us Interisti

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Inter Milan Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger