Headlines News :
Home » » Kami Jatuh, Tapi (Harus) Bangkit Lagi!

Kami Jatuh, Tapi (Harus) Bangkit Lagi!

Written By Japrax on Minggu, 12 Mei 2013 | 21.10

Stramacioni

“Inter lawan Lazio, siapa yang menang kira-kira?” Pertanyaan itu dilontarkan teman kerja beberapa jam sebelum pertandingan midweek Serie-A, Rabu (8/5). Kebetulan, dia juga tengah bersiap-siap menjadi komentator laga Inter vs Lazio di sebuah stasiun televisi. Saya sadar, pertanyaan itu bermuatan sindiran, mengingat performa Inter belakangan ini memang tengah terpuruk.

“Lazio bakal menang, minimal skor 2-1,” jawab saya spontan. Mungkin jawaban itu tidak sesuai perkiraannya. Dia tahu saya menyukai Inter, dan tentu berpikir saya akan menjawab dengan penuh optimistis. Saya sendiri bingung kenapa malah menjawab Lazio yang akan menang. Padahal, di lubuk hati saya tentu berharap Inter yang akan mencetak gol lebih banyak ketimbang tamunya itu.

Akan tetapi, saat itu logika mengalahkan segalanya. Terselip juga harapan jahat terhadap tim dukungan saya. Ya, dengan kondisi yang karut marut, saya memang tak berharap Inter bisa lolos ke Europa League. Mungkin harapan ini akan membuat saya di-bully seluruh teman, pun di twitter. Namun, saya justru melihat hal itu yang terbaik untuk Inter.

Kenyataannya, Inter memang tengah krisis. Tak cuma urusan finansial, yang tengah menyerang sebagian besar klub Italia hingga Eropa, pun soal mentalitas dan karakterisitik tim. Hampir seluruh pihak menyalahkan badai cedera yang menyerang Inter. Memang bukan klaim yang salah, tapi juga tidak sepenuhnya tepat. Toh dalam sepak bola profesional, bukan cuma Inter yang pernah merasakan badai cedera.

Dengan konsekuensi bermain lebih dari satu kompetisi, kendala tersebut seharusnya sudah bisa diantisipasi. Kedalaman skuad mutlak dibutuhkan, terlebih saat sebuah tim memiliki asa berprestasi tinggi di semua ajang itu. Hal itu tidak dimiliki Inter saat ini. Sebagian besar pemain pilar sudah berusia lanjut. Sedangkan para pemain muda masih terlalu minim pengalaman dan jarang mendapat kepercayaan. Saya pun belum melihat kecerdasan Inter dalam beraktivitas di bursa transfer.

Pelatih Andrea Stramaccioni sendiri tak lepas dari status kambing hitam. Khusus untuk klaim ini, saya menilainya lebih terasa absurd. Meski sangat wajar seorang pelatih menjadi sosok yang paling bertanggung jawab dalam naik-turunnya tim. Namun, dengan kondisi saat ini, bahkan Jose Mourinho pun akan kesulitan membawa Inter juara. Tengok juga pelatih sekaliber Massimiliano Allegri, yang sempat kesulitan meracik AC Milan setelah ditinggal sederet bintangnya pada awal musim lalu.

Di mata saya, Allegri bukan pelatih ‘kacangan’. Saya bahkan tak segan menyebutnya sebagai salah satu maestro micro-tactic di Italia saat ini. Namun, realitanya, situasi Stramaccioni saat ini pun pernah dialami Allegri pada awal musim. Beruntung bagi Milan, Allegri berhasil menemukan formula jitu untuk membangkitkan timnya. Didukung kehadiran Mario sebagai suntikan amunisi pada paruh musim.

Dalam usia muda, Stramaccioni sendiri punya potensi yang tak kalah besar dari Allegri. Namun, pengalaman yang berbicara. Stramaccioni masih tergolong bau kecur di persepakbolaan Italia, bahkan Eropa. Potensi sempat diperlihatkannya saat membawa Inter Primavera menjuarai NextGen Series tahun lalu. Akan tetapi, penunjukkan Stramaccioni sebagai pelatih tim senior Inter merupakan langkah yang mahabesar dan mahaberat.

Hal itu disadari pula oleh Presiden Massimo Moratti. Saat banyak pihak mulai berspekulasi soal pemecatan Stramaccioni, Moratti justru masih berusaha tenang. Dia sadar, dengan pengalaman minim yang dimiliki, akan sangat sulit bagi Stramaccioni mengendalikan krisis yang tengah menerpa Inter. Moratti yang dikenal emosional, ternyata masih bisa bersabar dengan situasi yang dialami Stramaccioni.

“Kami tampil bagus pada beberapa kesempatan hingga akhirnya banyak hal berbalik menyerang kami. Salah satunya adalah cedera yang melanda banyak pemain. Sangat sulit bila harus menyalahkan (Stramaccioni),” ucap Moratti terkait kondisi Inter usai gagal lolos ke Liga Europa.

Dalam hal strategi, Stramaccioni pun masih coba meraba potensi yang dimiliki timnya. Terlihat dari 12 formasi berbeda yang pernah dicicipinya selama menukangi Inter. Padahal, konsistensi taktik teramat penting. Antonio Conte bersama Juventus dan Walter Mazzarri di Napoli sadar betul terhadap hal itu. Keduanya pun akan berpikir seribu kali untuk mengubah pakem tiga bek yang selama ini menjadi andalan.

Di Inter, Stramaccioni juga tak sekadar butuh waktu. Dukungan direksi pun wajib hukumnya. Tak cuma soal moral, pun kejelian dalam mengartikan keinginan sang allenatore. Saat Wesley Sneijder ‘diusir’ Inter, Stramaccioni hanya meratap. Dia pun coba bereksperimen dengan menempatkan Fredy Guarin di posisi Sneijder. Meski sempat tampil baik, kegemilangan Guarin perlahan meredup. Beban berat yang dipikul tak diimbangi kemampuan memerankan tugas itu.

Penjualan Philipe Coutinho ke Liverpool pun tidak sepenuhnya salah. Di Premier League, Coutinho memang tampil semakin memesona. Namun, lebih karena permainan di Inggris dan Italia sangat berbeda. Pemain yang doyan meliuk-liuk seperti Coutinho memang tak melulu berhasil menantang permainan keras ala Italia, terlebih pada usia belia.

Tengok pula Ricky Alvarez. Semakin sering dia lama menahan bola dan pamer skill, potensi kegagalan semakin besar. Skill individu mumpuni memang bukan permata yang sangat berharga di Italia. Beruntung Alvarez mulai menemukan kedewasaan dalam bermain dan tahu bagaimana beradaptasi dengan keinginan tim. Saya sendiri sempat berpikir, andai Lionel Messi bermain di Italia, torehan gol seperti di Barcelona mungkin akan sulit diulanginya.

Lalu, apa solusi yang harus dilakukan Inter dalam memperbaiki performa musim depan? Sebagai fans, terselip harapan adanya aktivitas transfer besar-besaran pada musim panas mendatang. Termasuk mendatangkan bintang-bintang kelas dunia. Namun, jelas itu akan sulit teralisasi. Kondisi keuangan tak lagi memungkinkan Inter membeli pemain dengan harga selangit.

Terlebih, Moratti tengah memusatkan fokus, khususnya finansial, demi proyek pembangunan stadion baru. Niat luhur sang patron tak boleh diganggu-gugat. Inter dan tim Italia lain, mutlak butuh stadion baru jika tak ingin semakin tertinggal dari Spanyol, Inggris pun Jerman.

Apakah Inter butuh pemilik baru dengan harapan masuknya investor asing? Hal ini juga sangat sulit. Tradisi di Italia lebih mengedepankan prinsip nasionalisme. Sejauh ini, investor asing masih diharamkan mengambil saham mayoritas klub Italia. Jadi, jangan harap ada perngusaha Qatar, Uni Emirat Arab atau bahkan Indonesia yang bisa menggurus Moratti dari tampuk kepemimpinan Inter.

Jika akhirnya Stramaccioni dipertahankan musim depan, Moratti tentu perlu lebih memahami kebutuhan tim. Sinergi dibutuhkan antara presiden, direksi, staf pelatih dan skuad. Saya setuju dengan perkataan Leonardo, bahwa sebuah tim ideal akan memiliki Moratti di posisi presiden dan Adriano Galliani sebagai direktur. Inter butuh sosok juru transfer seperti Galliani. Marco Branca jelas masih jauh di bawah kualitas pria berkepala plontos itu.

Tak pelak, Inter harus melakukan tranformasi besar. Jika jajaran direksi tak bisa diusik, saya hanya berharap ada lebih kejelian dalam aktivitas transfer. Tak hanya sekadar menambal-sulam tim dengan menyesuaikan budget. Pun mengoptimalkan tim yang dimiliki, termasuk memberi kepercayaan lebih kepada talenta dari primavera.

Mengantisipasi krisis finansial, Inter harus mulai berpikir menjadi builder ketimbang buyer. Seperti yang dilakukan Barcelona dengan La Masia, atau beberapa tim lain semisal Ajax, West Ham United pun Sporting Lisbon. Memang buah dari program ini tidak bisa dipetik secara instan, tapi setidaknya beberapa tahun ke depan, perubahan dalam aktivitas transfer dan program pembinaan bisa berjalan beriringan.

“I get knocked down. But I get up again. You’re never going to keep me down.”
Sepenggal lirik dari lagu Tubthumping milik Chumbawamba itu bisa menjadi gambaran umum apa yang harus dilakukan Inter. Setelah keperpurukan, Inter harus bangkit, salah satunya melalui perubahan. Jangan sungkan bercermin dari sang rival, Juventus, yang bangkit setelah terdegradasi pada 2006. Juga menjadikan Liverpool atau Arsenal sebagai perbandingan. Dua tim yang belum juga mampu bangkit dari masa paceklik gelar. So, pilih belajar dari Juventus, atau mengikuti langkah Liverpool dan Arsenal? Opsi yang sulit, tapi harus dilakukan Inter.

Irawan Dwi Ismunanto (@IrawanCobain)
Penulis adalah jurnalis sepakbola yang juga seorang Interisti. Kamu bisa membaca tulisan-tulisannya di tabloid soccer.

sumber: http://www.interclubindo.com/2013/05/kami-jatuh-tapi-harus-bangkit-lagi/
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jangan Lupa Follow Us Interisti

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Inter Milan Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger