Headlines News :
Home » , » Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Five: The Tractor

Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Five: The Tractor

Written By Japrax on Senin, 18 Maret 2013 | 21.36

CHAPTER FIVE

THE TRACTOR

Meskipun jauh dari lapangan sepakbola selama satu tahun, saya tidak kehilangan hasrat untuk bermain atau lupa bagaimana cara bermain sepakbola. Selama berhenti bermain, fisik saya justru lebih banyak dibangun. Melalui usaha yang saya lakukan bersama ayah di tempat kerja, otot saya menjadi lebih berkembang, dan tinggi badan saya juga bertambah beberapa centimeter.

Setelah memikirkannya berulang-ulang, saya memutuskan untuk kembali ke lapangan. Kita harus selalu tegar berdiri, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun. Pelajaran itulah yang saya peroleh pada waktu itu, dan sejak saat itu, saya tidak pernah melupakannya. Kakak saya, Sergio, yang saat itu sedang memulai karir sepakbolanya, memberikan saya kesempatan yang bagus untuk kembali bermain sepakbola. Dia bermain bersama Talleres, sebuah tim kecil dari sebelah selatan Buenos Aires, tepatnya daerah Remedios de Escalada, tidak jauh dari Lanus, tempat di mana Diego Maradona tumbuh dewasa, dan beberapa tahun kemudian menjadi pusat dari PUPI Foundation.

Saya tidak ingin masuk tim hanya karena kakak saya juga bermain di tim itu : jadi ketika Sergio dijual ke tim lain, saya segera mengambil kesempatan, saya memperkenalkan diri dengan tekad dan kemauan yang kuat. Semuanya berjalan baik, saya berhasil masuk menjadi bagian dari tim. Saya menghabiskan musim pertama di kompetisi junior, Divisi Empat, di mana saya diandalkan sebagai pemain pengganti ketika situasi genting. Di Independiente, saya hampir selalu bermain di posisi striker luar, sebuah peran yang sangat sesuai dengan karakter saya : seorang leggerino (si kecil yang gesit), dapat berlari kencang, suka menggiring bola sampai ke depan gawang lalu membuat crossing. Namun ketika di Talleres, daerah permainan saya berubah menjadi first midfielder dan kadang-kadang juga berposisi di daerah pertahanan. Penetapan poisisi bermain saya baru terjadi pada musim berikutnya ketika saya dipromosikan ke tim utama. Satu tahun bermain di level Nasional B—setara dengan SerieB—telah membuka jalan saya untuk menjadi pesepakbola profesional.

Masalah utama saya pada saat itu adalah selain bermain sepakbola, saya juga harus memikirkan bagaimana cara untuk selalu bisa membawa roti ketika pulang ke rumah. Saya selalu membantu perekonomian keluarga, dan kenyataannya adalah ketika mulai serius bermain sepakbola, hal tersebut tidak lalu membebaskan saya dari kewajiban sebagai anak. Jadi, saya menemukan pekerjaan baru. Dari tukang bangunan + pesepakbola menjadi laki-laki pekerja + pesepakbola. Mulai pukul empat sampai delapan pagi, saya mengenakan seragam seorang pengantar susu, berjalan dari rumah ke rumah untuk mengantarkan botol-botol susu, dan ketika tugas tersebut selesai, saya lalu pergi ke sekolah. Pada sore hari, saya berlatih sepakbola. Ketika malam hari, saya dilanda kelelahan yang luar biasa. Hidup yang begitu sulit, namun saya melakukannya dengan penuh semangat karena saya tahu, mungkin, ini akan menjadi kesempatan terakhir untuk bisa membuat terobosan dalam karir sepakbola saya.

Pengorbanan besar itu berlangsung selama satu tahun, ketika saya bermain di tim junior. Ketika mulai dipromosikan masuk dalam tim utama, para manajer memberitahu tidak mungkin kalau saya terus melanjutkan aktivitas yang seperti itu, bekerja dan bermain sepakbola dalam waktu yang bersamaan. Saya segera memberitahu mereka, bahwa bagaimana pun juga, saya tetap membutuhkan uang untuk membantu keluarga. Mereka meminta saya untuk tidak perlu khawatir lagi mengenai hal tersebut, dan setelah itu saya mendapat kontrak pertama sebagai pemain profesional. Musim pertama bersama pemain-pemain hebat saya lewati dengan baik. Dari 17 penampilan dan mencetak satu gol, membuat saya terlihat istimewa di antara pemain-pemain muda yang lain. Saat itulah saya mulai mendapat nama panggilan “Pupi”. Hal ini muncul karena keisengan kakak saya, Sergio. Dia menamai saya dengan panggilan itu ketika dia masih bermain di Talleres. Pada saat masuk ke Talleres, ada lima orang lain yang bernama Javier (selain saya), sehingga secara otomatis mereka menetapkan nama Pupi sebagai panggilan untuk membedakan saya dengan Javier yang lain. Tidak ada arti khusus untuk Pupi : hanya sekedar nama panggilan yang dapat diucapkan dengan cepat, khususnya ketika sedang bermain di lapangan yang semuanya harus dilakukan dengan cepat.

Selain mengenai sepakbola, saya juga mulai menemukan sesuatu yang istimewa di area hidup saya yang lain. Ketika bermain di Talleres, saya mulai berkenalan dengan Paula, dialah seseorang yang akhirnya menjadi wanita terindah dalam hidup saya. Sama seperti cerita dalam dongeng yang berakhir bahagia, untuk memenangkan hati Paula saya perlu dibantu oleh seorang teman bernama Roberto yang juga adalah teman satu sekolah Paula. Satu hari, Roberto mengajak saya untuk pergi minum kopi, Ketika kami hendak pulang, saya melihat Paula, dan rasanya seperti disambar petir. Saya mulai bertanya banyak hal mengenai Paula pada Roberto, sampai akhirnya setelah mendapat banyak desakan, saya melihat Paula ketika sedang berlatih basket, olahraga yang saat itu ditekuni Paula dengan serius. Mungkin memang sesama atlet dapat saling memahami dengan baik satu dengan yang lain. Setelah latihan selesai, lagi-lagi dengan dibantu oleh Roberto, saya menemui Paula, dan akhirnya kami membuat janji untuk bertemu lagi lain hari. Sejak saat itu, perasaan dan emosi saya terasa seperti meledak-ledak, selalu berusaha mencari alasan apapun untuk bisa bertemu Paula. Dan perasaan itu akhirnya terbayar. Setelah mulai berkencan—saya berumur delapan belas dan Paula empat belas tahun—kami selalu bersama ke mana pun kami pergi.

Kembali ke dunia sepakbola, saya tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, dan bahkan saya menemukan cinta pertama saya. Akhirnya, sekarang saya dapat meninggalkan masa-masa kelam yang telah membuat saya tenggelam dua tahun lalu. Pengalaman di Talleres adalah salah satu hal paling penting dalam hidup saya : saat terang itu muncul setelah 20 tahun, akhirnya pintu terbuka untuk saya bermain di liga utama Argentina. Pada musim panas 1993, saya menerima berbagai macam tawaran. Banyak klub tertarik pada saya, termasuk Banfield, salah satu klub di distrik Lomas de Zamora yang memiliki banyak sekali pendukung.

Ya, saya memang tidak punya kesempatan lagi  mengenakan seragam Independiente atau klub lain yang memiliki sejarah kuat, namun mengenakan seragam ‘the humble’ Banfield (sebuah tim yang akan selalu berada dalam hati saya) adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa, apalagi ketika mengingat masa-masa sulit yang telah dilewati. Dengan semangat dan antusiasme yang baru, sangat mudah bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Dua pelatih Banfield saat itu, Oscar Lopez dan Oscar Cavallero, memberikan saya seragam bernomor 4, dan sejak pertama sampai terakhir kali berseragam Banfield, saya tidak pernah menanggalkan nomor tersebut. Debut saya bersama nama-nama besar dalam dunia sepakbola terjadi di Monumental, stadion bersejarah kebanggaan River Plate. Itu adalah awal dari sebuah langkah-langkah besar berikutnya. Pada November 1994, Daniel Passarella, pelatih tim nasional Argentina, memasukkan nama saya dalam daftar pemain timnas untuk pertama kalinya. Rasanya seperti mimpi : setelah setengah musim bersama para pemain profesional, saya akhirnya mendapat kesempatan dan kehormatan untuk mengenakan seragam Albiceleste. Debut saya bersama timnas tidaklah buruk : menang 3-0 melawan Chile di Santiago pada 16 November 1994. Saya megakhiri musim pertama di Banfield dengan mencatat 37 penampilan dan mencetak satu gol. Musim berikutnya masih saya jalani bersama klub yang sama, dengan alur cerita yang sama dengan musim sebelumnya. Hanya saja, di musim kedua saya mulai mendapat julukan baru, yaitu El Tractor, the tractor. Di Argentina, hampir semua pemain memiliki julukan : El Cuchu, El Cholo, El Jardinero, El Pocho, El Piojo. Victor Hugo Morales, komentator legendaris yang menyiarkan kehebatan Maradona, adalah orang yang memberikan julukan baru tersebut pada saya, karena dia melihat kaki saya yang begitu kuat  (terima kasih kepada semua pihak yang telah melatih anak laki-laki lemah ini hingga menjadi kuat seperti sekarang). Cara saya bermain di lapangan mirip dengan traktor : berlari tanpa mempedulikan siapa yang ada di sekeliling saya, dan sulit untuk menghentikan atau menjatuhkan saya. Itulah yang ada di dalam bayangan Morales mengenai persamaan saya dengan traktor.

Musim kedua bersama Banfield, saya selalu masuk starting line up. Ketika di Banfield saya juga sempat merasakan bermain bersama Julio Cruz, yang saat itu juga sedang memulai karir sepakbola profesionalnya sebagai seorang striker. Beberapa tahun kemudian, ternyata kami bertemu kembali sebagai pejuang di klub yang sama, namun jauh melintasi samudra, mengenakan seragam garis hitam-biru vertikal.

* * *

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jangan Lupa Follow Us Interisti

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Inter Milan Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger