Headlines News :
Home » , » Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Six

Biografi Javier Zanetti: Captain and Gentleman - Chapter Six

Written By Japrax on Selasa, 19 Maret 2013 | 09.00

CHAPTER SIX

TO MILAN WITH L’AVIONCITO

Satu malam ketika kami sedang melakukan kunjungan ke Afrika Selatan bersama tim nasional Argentina, Daniel Passarella mengetuk pintu kamar saya. “Javi, Inter ingin membelimu,” ucapnya dalam satu kali tarikan napas, bahkan tanpa memberi saya waktu untuk berpikir apakah dia sedang bercanda atau tidak. “Inter? Inter Milan? Tim yang pernah Anda bela? Tim yang dua kali mengalahkan Independiente? Tim di mana Matthaus pernah bermain?”

Ya, memang tepat seperti itu. Passarella tidak sedang berbohong atau bercanda. Seseorang yang memantau saya, lalu melaporkan pada pihak manajemen Inter, adalah salah satu pembawa kejayaan Argentina : Antonio Valentin Angelillo, striker Inter pada masa transisi tahun 50 dengan 60an yang sampai saat ini masih dikenal berkat 33 gol-nya dalam satu musim di Serie A. Dia melihat ketika saya bermain di Banfield; saya tahu kalau Inter sedang mencari pemain di Argentina, namun beberapa nama pemain yang sedang bersinar saat itu adalah Daniel Ortega dan Sebastian Rambert. Jadi ketika Passarella memberitahu berita tersebut, saya justru merasa bingung. Saya segera menghubungi agen saya. Ternyata semua ini benar, Inter menginginkan saya. Hal yang perlu saya lakukan adalah hanya membubuhkan tanda tangan dan jalan ke Italia sudah terbuka.

Kemudian saya mengalami dilema. Di satu sisi, suatu kebahagiaan besar bagi saya berada semakin dekat dengan salah satu klub paling sukses di dunia. Namun, di sisi lain, saya takut meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga, dan khususnya Paula. Dia masih sangat muda, masih duduk di bangku sekolah, dan tentunya dia tidak mungkin mengikuti saya pindah ke Italia, minimal dalam waktu dekat. Hari-hari yang sulit bagi saya. Namun saya merasa kalau mungkin, kesempatan bagus seperti ini tidak akan datang dua kali. Jadi, saya mengambil kesempatan ini dan mengejar cita-cita hidup saya.

Untungnya, saya memiliki waktu dua bulan untuk menyiapkan segala sesuatu, dan ternyata saya tidak akan pergi sendirian untuk menjalani petualangan baru ini : selain saya, Inter juga mendapatkan Sebastian Rambert, yang biasa dipanggil l’Avioncito, si pesawat terbang, karena gaya selebrasinya setelah mencetak gol. Rambert juga sudah menjadi teman saya di tim nasional. Orang-orang bepikir kalau kedatangan saya di Inter adalah sebagai bonus dari pembelian Rambert. Tapi sebenarnya bukan seperti itu. Pertama, Sebastian tidak bermain di tim yang sama dengan saya, Banfield, tapi dia bermain untuk Independiente (betapa beruntungnya dia). Kedua, Inter tidak membeli kami secara bersamaan sebagai pasangan, tapi dalam waktu yang berbeda. Dia datang setelah saya. Mungkin ini terlihat seperti hal sepele, tapi bagi saya ini sangat penting. Faktanya, saya adalah pembelian paling pertama dari Massimo Moratti—yang sekarang ini menjadi presiden Inter—pada tahun 1995. Banyak sekali kritik dari fans ketika mereka mendengar nama saya. “Apa? Moratti ingin mengembalikan kejayaan masa lalu Inter dan dia datang bersama Zanetti?” Saya memang pemain yang tidak banyak dikenal oleh orang. Bahkan fans sampai berkata kalau saya harus banyak makan roti terlebih dahulu sebelum menjadi pemain klub besar dunia. Bagaimana pun, keinginan Moratti untuk mendapatkan saya tetap kuat.

Selama masa promosi, Inter menaruh harapan pada pemain-pemain muda berlatenta dan pemain-pemain yang telah teruji kualitasnya. Selain Rambert dan saya, Roberto Carlos dan Paul Ince—salah satu gelandang tengah paling kuat di Eropa—juga tiba di rumah tim hitam-biru. Kondisi tersebut menciptakan situasi yang sulit, karena pada saat itu Bosman Law belum mulai berlaku. Jadi setiap tim hanya boleh memiliki maksimal tiga pemain asing. Dan kami berempat. Dalam keadaan seperti ini, orang pasti berpikir kalau saya lah yang akan dipinjamkan ke tim lain supaya tulang saya lebih terbentuk. Tiga orang selain saya, mereka adalah pemain yang populer. Rambert telah banyak diberitakan di surat kabar maupun televisi secara terus menerus karena gol-gol indahnya di liga Argentina; Roberto Carlos, yang walaupun baru sedikit orang mengenalnya, adalah salah satu pemain muda yang sangat menjanjikan untuk dunia sepakbola; Ince, orang telah mengenalnya ketika bermain untuk Manchester United. Dan Zanetti? Sama sekali tidak ada yang tahu. Namun begitu, ternyata saya tetap di Inter, saya bermain untuk Inter. Pihak manajemen Inter segera memberitahu kalau mereka tidak akan menukar saya ke klub lain. Mereka percaya pada saya dan kemampuan yang saya miliki. Maradona juga adalah orang yang turut membantu saya, ketika dalam sebuah interview dia menyatakan kalau “pembelian terbaik yang dilakukan oleh Inter adalah Zanetti.” Dan saya mulai untuk percaya pada diri saya sendiri.

Sudah terbiasa dengan kekacauan yang kadang terjadi di Buenos Aires, kondisi kota Milan tidak membuat saya kaget. Mungkin, karena kami, orang Argentina memiliki separuh darah sebagai orang Italia. Dan meskipun ribuan mil jauhnya dari Argentina, kami merasa seperti di rumah. Kakek-nenek buyut saya berasal dari Friuli, tepatnya daerah Sacile yang berada di provinsi Pordenone. Saya baru mengetahuinya beberapa tahun yang lalu. Saya bangga dengan darah Italia saya, khususnya Friuli. Saya merasa memiliki banyak kesamaan dengan para Friuliani : berkarakter kuat, handal, sederhana; karakter seperti itulah yang juga saya bawa ketika sedang bermain di lapangan.

Oleh karena asal usul tersebut, saya cepat merasa nyaman tinggal di Italia. Meskipun sendiri, keluarga dan Paula masih di Argentina, saya tidak merasakan homesick yang terlalu besar. Ini berkaitan dengan budaya dan gaya hidup. Italia dan Argentina adalah dua tempat yang identik, karena itu kami dapat cepat beradaptasi dengan permainan sepakbola Serie A. Perbedaan paling mencolok dari dua negara ini adalah dari tempramen orang-orangnya. Orang Argentina berkarakter tenang; kami sangat menikmati sosialisasi antara satu orang dengan yang lain. Namun, di Italia, semua orang terkesan seperti selalu terburu-buru. Di Buenos Aires, ketika kami membuat janji bertemu di tempat minum kopi, kami dapat menghabiskan waktu beberapa jam untuk bercerita hal ini dan itu. Namun, di Milan, segala sesuatu selesai dalam lima menit, mengucapkan selamat tinggal, lalu setiap orang kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Namun, pengalaman awal di Italia menjadi masa yang cukup rumit, termasuk tentang bahasa. Di Argentina, kami tidak biasa ditekan oleh media dan fans. Ketika masih bersama Banfield, di akhir pertandingan saya terbiasa diwawancara oleh reporter yang hanya membawa buku catatan kecil, dimintai sedikit tanda tangan dan foto, lalu setelah itu selesai. Hari ketika saya melakukan presentasi resmi untuk Inter adalah tanggal 5 Juni 1995 di Terrazza Martini, di mana di tempat itu banyak sekali kerumunan fotografer, kameraman, jurnalis (dengan buku catatan, pengeras suara dan alat perekam; pada saat itu, telepon seluler belum populer), dan para fans Inter meneriakkan nama saya. Bahkan, hujan pun tidak menghalangi antusiasme mereka. Bagi saya dan Rambert, ini adalah sensasi pertama dari petualangan berikutnya yang telah menunggu kami. Pertemuan secara langsung dengan Inter, menjadi pengalaman paling indah sekaligus gila dalam karir sepakbola saya di Italia.

* * *

Share this article :

2 komentar:

  1. Min, Chapter seven (7) mana?
    ko ane klik chapter (7), link nya ke chapter (6) ??

    BalasHapus
  2. sudah di fix linknya gan >>

    chapter 7
    http://inter-milan-indonesia.blogspot.com/2013/03/captain-and-gentleman-chapter-seven.html

    BalasHapus

Jangan Lupa Follow Us Interisti

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Inter Milan Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger