Tahun 2000, jauh sebelum kasus ‘Calciopoli’ yang melibatkan
Juventus muncul ke permukaan, saya sudah menulis sebuah buku setebal 52
halaman berjudul “Di Balik Sukses Juventus”. Tapi sayang, saat itu hanya
segelintir orang yang mau melirik karya tulis yang saya buat tersebut.
Buku yang di dalamnya berisi kisah mendalam seputar ‘sepakbola tidak
sehat’ ala tim Kuda Zebra itu pernah saya kirimkan ke redaksi Tabloid
Bola dengan harapan dimuat di media tersebut. Tapi respon mereka saat
itu hanya sebuah kalimat yang berbunyi: “Buku Anda sangat bagus, terima
kasih atas kirimannya.” Beruntung sih, masih banyak pembaca Tabloid Bola
yang tertarik dan memesan buku itu meskipun hanya mengganti biaya
pengiriman dan foto kopi.
Saat itu saya memang hanya seorang penggila bola yang baru lulus
kuliah. Jika saya seorang wartawan ternama mungkin ceritanya akan lain.
Faktanya, enam tahun berselang guncangan hebat menerpa dunia sepakbola,
khususnya Italia, setelah Bianconeri terbukti melakukan skandal
pengaturan skor yang juga dikenal dengan sebutan Moggiopoli. Kasus ini
tak hanya membuat Scudetti 2004/2005 dan 2005/2006 mereka dicopot FIGC
(PSSI-nya Italia) tetapi juga penurunan kasta ke Serie B.
Sebenarnya, banyak bukti mengenai kolusi wasit yang dilakukan
Juventus tetapi tak ada yang berani mengungkapnya. Sebab, keluarga
Agnelli, pemilik Juventus memiliki kekuasaan yang sangat besar di
Italia. Selain taipan kondang di bidang otomotif dengan mobil Fiat-nya,
ia juga pemilik dua harian olahraga terkemuka Italia “La Gazzetta dan
Corierre dello Sport” .
Ancaman ditembak mati sering digunakan untuk menakut-nakuti pihak
yang ingin membongkar borok ini. Seorang reporter televisi setempat yang
merekam pernyataan penyerang Inter Milan Ronaldo setelah timnya
dicurangi Bianconeri di musim 1997/1998 bahkan diancam dibunuh begitu ia
hendak keluar stadion dengan mikrofon di tangan.
Jangan heran bila dengan kondisi seperti ini Juventus banyak dimusuhi
klub-klub Serie A lainnya. Selain klub kebanggan saya Fiorentina,
Bianconeri juga tak disukai tim-tim seperti Torino, Inter Milan, AS Roma
dan Napoli lantaran sering merugikan mereka. Di luar Italia, ada
Manchester United dari Inggris yang juga pernah merasakan teori
‘menghalalkan segala cara’ ala Juventus. Baik di dalam maupun di luar
lapangan.
Kisah ‘praktek haram’ yang diperagakan Juventus kita awali dengan
perseteruan abadi mereka dengan Torino. Dianggap abadi karena selain
Bianconeri satu kota dengan tim berjuluk ‘La Granata’ ini, di era 40an
mereka juga bersaing ketat dalam perebutan gelar Scudetto.
Salah satu tokoh besar yang pernah dilahirkan klub yang berdiri tahun
1906, sembilan tahun setelah Juventus ini adalah Vittorio Pozzo,
pelatih yang membawa Italia juara Piala Dunia 1934 dan 1938. Pozzo juga
pernah melatih Torino, bahkan membawa klubnya juara Serie A 1927/1928.
Setahun sebelumnya, Torino sebetulnya juga juara. Tapi kemenangan itu
digugat Juventus yang menuduh Torino menyuap salah satu pemainnya,
Luigi Allemandi, dan adanya seorang wartawan yang membongkar skandal
bahwa Juventus sengaja memberikan kemenangan kepada Torino pada
pertandingan derby kedua yang dimenangkan Torino 2-1. Akhirnya FIGC
memihak Juventus, dan membuat gelar itu melayang. Nah, sejak itulah
rivalitas Juventus –Torino dimulai.
Kita beralih ke wilayah selatan Italia. Tepatnya di daerah Naples
dimana sebuah klub bernama Associazione Calcio Napoli bermarkas. Saat
dipimpin Achille Lauro, raja bisnis perkapalan, tim ini sangat ambisius
dengan membangun stadion San Paulo pada tahun 1959 dan membeli
pemain-pemain top demi bersaing dengan tim-tim wilayah utara.
Demi memuluskan keinginannya, berbisnislah Lauro dengan keluarga
Agnelli, yang menguasai saham mayoritas Juventus. Ia memberi hak kepada
Agnelli untuk memasok mesin bagi semua kapal laut miliknya. Imbalannya,
Agnelli menyerahkan duet penyerang andalan Juventus saat itu, Omar
Sivori dan Jose Altafini.
Pada musim 1961/1962, Napoli memenangi gelar pertamanya, Coppa
Italia. Dan hasil lumayan bagus mereka capai pada musim 1974/1975.
Hingga akhir musim, Napoli ikut bersaing dalam perebutan gelar. Tapi,
seperti musim-musim sebelumnya, akhirnya juga kandas. Kali ini justru
oleh Juventus.
Menjelang partai terakhir, Napoli butuh kemenangan telak untuk
menghindari kejaran pesaing terdekatnya, Juventus. Ternyata, Napoli cuma
menang tipis lawan Varese. Sedangkan Juventus yang dikenal suka
‘membeli’ wasit membantai Vicenza 5-0. Gelar pun terbang ke Turin,
diiringi tangis Lauro yang dikhianati rekan bisnisnya.
Kasus serupa dialami Inter Milan pada musim 1997/1998. Saat itu kiper
Nerazzurri Gianluca Pagliuca bergegas mendekati wasit Piero Ceccarini
dan memrotes keras keputusan yang baru ditetapkannya. Tapi Ceccarini tak
bergeming. Hadiah penalti tetap diberikan kepada Juventus menyusul
pelanggaran yang dilakukan bek Taribo West terhadap penyerang Juventus
Alessandro Del Piero.
Protes Pagliuca sebenarnya lebih kepada insiden yang terjadi beberapa
detik sebelumnya. Saat penyerang Brasil Ronaldo dijahili bek Juventus
Mark Iuliano di dalam kotak penalti. Namun Ceccarini menilai itu bukan
pelanggaran. Del Piero, memang gagal mengeksekusi penalti itu, tetapi
Juventus tetap keluar sebagai pemenang lewat gol tunggal Del Piero juga
lantaran mental para pemain Inter sudah ambruk.
Bagi Inter, memenangi laga itu sangat penting. Karena saat itu
selisih poin antara Inter dan Juventus terpaut sangat tipis, satu poin
untuk keunggulan Juventus. Sementara tiga pertandingan lagi kompetisi
akan usai. Tak hanya kekalahan yang dialamai Inter. Tetapi juga sanksi
yang diterima Ronaldo. Dia dilarang tampil dalam satu pertandingan
lantaran meluncurkan protes keras terhadap wasit. Benar saja, tanpa
Ronaldo mereka tidak dapat memperoleh hasil optimal dan gelar pun
melayang ke Turin.
“Kami pantas kalah dari Juventus, sebab kami harus berhadapan dengan
12 orang. 11 orang pemain ditambah wasit. Ya, Juventus selalu dibantu
wasit,” ujar Ronaldo kecewa.
Desas desus pun muncul, Ceccarini mendapat hadiah dari bos mobil
Fiat, perusahaan raksasa yang mengusai saham mayoritas Bianconeri.
Sebulan setelah insiden itu terjadi, Ceccarini mengecam media massa yang
terus-menerus mencerca dirinya, “Perlakuan mereka sudah berada di luar
kontrol dan harus dihentikan. Setiap orang di sepakbola bisa melakukan
kesalahan,” ujarnya ngeles.
Daftar wasit yang pernah menerima imbalan ‘haram’ dari Juventus cukup
banyak. Yang mengherankan, Pierluigi Collina, wasit berkepala plontos
yang kelihatan cukup berwibawa di atas lapangan dikenal sebagai orang
yang paling sering menerima imbalan dari Bianconeri. Bentuk imbalan jasa
yang diterima bisa bermacam-macam, biasanya satu mobil Fiat itu tadi.
Pada musim itu bukan hanya Inter yang jadi korban kecurangan
Juventus. Lazio, Roma dan Empoli juga merasakan hal sama. Lazio bahkan
kembali dicurangi Bianconeri dua musim berselang. Bersaing ketat dengan
Juventus sejak awal musim 1999/2000, mereka harus menyerah setelah
Juventus dinyatakan sebagai juara musim dingin atau paruh musim.
Sejak pekan kedua musim itu, Juventus yang diasuh Carlo Ancelotti
sudah terjebak dalam stigma sebuah tim yang diistimewakan para wasit. Di
Cagliari, sebuah gol yang secara sah dicetak penyerang Belgia Luis
Oliveira ke gawang Juventus dianulir wasit. Coba bayangkan, selama 17
pekan pertama, Juventus merupakan satu-satunya tim yang tidak mendapat
hukuman. Bagaimana mungkin!
Selanjutnya coba ingat lagi peristiwa yang terjadi pada waktu
bertanding melawan Inter Milan di pekan ke-13 tatkala kiper Juventus
saat itu, Edwin Van der Sar yang telah menjatuhkan Ivan Zamorano pada
menit ke-8 tidak dikeluarkan. Memang menjelang laga usai kiper Belanda
itu dikeluarkan juga oleh wasit lantaran dianggap memegang bola di luar
kotak terlarang. Tapi hal itu hanya untuk menutupi kesalahan pertama
wasit. Toh, Juve sudah unggul 1-0.
Coba lihat kejadian berikutnya. Pada laga terakhir putaran pertama di
musim yang sama dalam pertandingan tandang di Perugia. Penyerang
Filippo Inzaghi didorong oleh pemain lawan yang sebenarnya di luar bukan
di dalam kotak penalti. Sementara pada saat berbarengan Simone Inzaghi,
saudara kandung Pippo yang berkostum Lazio, dijatuhkan di areal penalti
dalam laga tandang di Reggina tapi wasit tidak setuju sama sekali untuk
memberi hukuman penalti kepada lawan yang nyata-nyata menjegal Simone.
Malah sebaliknya, menghukum Lazio, tim yang sebenarnya harus
diuntungkan. Sungguh menghebohkan!
Dalam situasi seperti ini Juventus dikenal bukan karena prestasinya
tetapi lebih karena tidak tahu malu. Beruntung di akhir kompetisi Lazio
yang menyabet Scudetto, bukan Juventus.
Cerita lain yang tak kalah menyakitkan menimpa saudara sekota Lazio,
AS Roma, di awal musim 1999/2000. Kali ini bukan soal ‘permainan kotor’
di atas lapangan melainkan di luar lapangan. Tepatnya, pencurian pemain
yang dilakukan kubu Bianconeri.
Sebelum resmi berkostum ‘putih hitam’ gelandang Nigeria Sunday Oliseh
awalnya akan bermain untuk AS Roma. Giallorossi bahkan sudah sepakat
dengan nilai kontrak yang disodorkan Ajak Amsterdam, klub Oliseh saat
itu. Tapi Juventus entah dari mana sudah memperoleh tanda tangan dan
persetujuan Oliseh. Presiden AS Roma saat itu, Franco Sensi, sangat
gusar dan menyatakan: “Oliseh milik Roma, kami telah sepakat dengan
Ajax.”
Tapi Juventus yang dikenal licik dan suka menghalalkan segala cara
tetap yakin Oliseh sudah jadi milik mereka. Dan untuk kali ketiga dalam
sejarah, Bianconeri mencuri pemain yang sudah diincar Roma. Pertama,
ketika Juventus merebut Paulo Sousa di awal musim 1994/1995, kemudian
mantan bintang Napoli Ciro Ferarra di tahun yang sama.
Kasihan Roma, mereka baru sadar kalau Juventus adalah tim pencuri.
Padahal jauh sebelumnya Bianconeri pernah merampok tiga barang berharga
Fiorentina, yakni Scudetto 1981/1982, Piala UEFA 1989/1990 dan maskot
tim Roberto Baggio di awal musim 1990/1991. Dan sejak itulah berkembang
‘teori konspirasi’ dan politik uang Juventus dalam percaturan Serie A.
Makanya, ketika kasus serupa dialami Inter pada musim 1997/1998,
presiden Fiorentina Vittorio Cecchi Gori yang paling vokal mensinyalir
adanya konspirasi tersebut.
“Kita harus melakukan sesuatu. Sekitar tiga tahun ini selalu ada tiga
atau empat klub yang lebih penting. Kita seharusnya memiliki anjing
penjaga,” ujar Cecchi Gori geram. Itu pula sebabnya kota Firenze
berpesta semalaman ketika Fiorentina memukul Juventus 3-0 pada musim
1997/1998. Bagi mereka kemenangan tiga gol tanpa balas yang dicetak Aldo
Firicano (31′), Luis Oliveira (34′) dan Anselmo Robbiati (79′) itu tak
ubahnya sukses meraih Scudetto.
Namun maling tetaplah maling. Juventus justru makin nyaman
menjalankan misi terlarangnya. Puncaknya, di tahun 2006 mereka terbukti
terlibat dalam skandal pengaturan skor yang dikenal dengan sebutan
‘Calciopoli’. Skandal yang ditemukan tak terduga ini berawal dari
penyelidikan doping yang juga menjerat kubu Juventus dimana beberapa
alat penyadap dipasang. Transkrip pembicaraan telepon diterbitkan di
surat-surat kabar Italia, di antaranya adalah pembicaraan manajer umum
Juventus, Luciano Moggi, pada musim 2004/2005 mengenai pengaturan
pertandingan, perjudian, dan pemalsuan catatan keuangan. Moggi sendiri
kemudian diberi sanksi dilarang aktif di persepakbolaan selama lima
tahun.
Oleh pengadilan Italia Juventus kemudian dihukum degradasi ke Serie
B, pengurangan 30 nilai untuk musim 2006/2007 (sebelum melakukan
banding), penghapusan dua gelar juara Serie A musim 2004/2005 dan
2005/2006, dilarang tampil di Liga Champions 2006/2007, dan didenda
100.000 dolar AS (sekitar Rp. 950 juta). Pada 26 Juli, Inter Milan
kemudian dinyatakan sebagai juara Serie A musim 2005/06, sementara juara
musim 2004/05 dinyatakan kosong.
Namun setelah musim 2011/2012 berakhir, di saat Juventus kembali
menjadi juara Italia, mereka mengklaim telah merebut Scudetto yang ke-30
nya. Dan itu diperlihatkan dalam perayaan mereka. Padahal secara hukum
Bianconeri baru merebut 28 Scudetto, karena 2 Scudetto mereka telah
dicabut akibat kasus ‘Calciopoli’ tadi; Scudetto musim 2004/2005
dibiarkan kosong, sedangkan musim 2005/2006 diberikan kepada Inter
Milan. Bianconeri bahkan berencana memasang bintang emas ketiga untuk jersey klub musim berikutnya (2012/2013) dimana masing-masing bintang melambangkan 10 Scudetto.
Menyikapi kelakuan Bianconeri yang makin tidak tahu malu ini, kapten
Inter Milan Javier Zanetti tak ambil pusing. Pemain asal Argentina ini
mempersilakan Juve memasang bintang ketiga jika memang itu membuat
mereka senang.
“Jika itu membuat mereka senang, mereka bisa melanjutkan (memasang
bintang ketiga). Cukup berpikir mengenai masa lalu. Semua orang tahu apa
yang terjadi. Setiap orang harus berurusan dengan hati nurani mereka
sendiri dan tahu apa yang mereka lakukan,” kata Zanetti seperti dilansir
Football Italia.
“Dalam hal apapun, saya ulangi ucapan selamat saya hanya untuk
keberhasilan Juve merebut Scudetto musim ini (2011/2012),” lanjutnya.
Inter Milan sendiri hanya finish di peringkat enam dan lolos ke ajang Europa League di musim ini.
Namun menjelang musim 2012/2013 bergulir, Juventus mengonfirmasi
takkan memasang tiga bintang di kostum mereka. Bianconeri hanya akan
mencantumkan moto baru ’30 sul campo’ yang artinya ‘30 dimenangkan di
lapangan’ di bawah logo klub. Kostum baru Juventus musim itu bahkan
tidak mencantumkan satu bintang sama sekali.
“Kostum Juventus yang baru takkan dipasang tiga bintang. Namun, di
bawah logo klub, akan muncul moto baru ’30 sul campo’ (30 dimenangkan di
lapangan),” kata direktur komersial Francesco Calvo kepada Sky Sport
Italia, Sabtu (9/6/2012). Hal yang wajar mengingat protes tak hanya
terlontar dari tim rival tetapi juga FIGC (PSSI-nya Italia).
Belum juga musim kompetisi baru dimulai Juventus sudah kembali bikin
gara-gara. Dan benar apa kata slogan yang tertera di kaos mereka,
‘memenangi pertandingan di lapangan’, tapi tetap dengan bantuan tiga
sosok penting yang selama ini selalu menjadi kunci kemenangan mereka,
yakni wasit utama serta hakim garis 1 dan 2. Di laga Piala Super Italia
2012, Bianconeri mengalahkan juara Copa Italia 2011/2012 Napoli 4-2
secara kontroversi dimana dua pemain Napoli Goran Pandev dan Juan Camilo
Zuniga serta pelatih Walter Mazzari mendapat kartu merah.
Dalam partai panas yang digelar di Bird’s Nest Stadium di Beijing,
Cina, itu Edinson Cavani membawa Napoli unggul lebih dulu dengan golnya
di menit 27. Lolos dari jebakan offside, Cavani dengan tenang
mengarahkan bola melewati hadangan kiper Gianluigi Buffon. Sepuluh menit
berselang, pemain baru Bianconeri Kwadwo Asamoah menyamakan lewat
tendangan voli dari bibir kotak penalti Napoli.
Menjelang turun minum, penyerang Goran Pandev mengembalikan
keunggulan Il Partenopei menjadi 2-1 akibat blunder Leonardo Bonucci
yang kehilangan bola di pertahanan sendiri. Namun menit ke-73, Federico
Fernandez melanggar striker Juve Mirko Vucinic di kotak terlarang.
Arturo Vidal yang dipercaya sebagai eksekutor, tak menyia-nyiakan
penalti itu menjadi gol. Skor kembali imbang 2-2.
Pascainsiden penalti, tensi pertandingan mulai memanas. Akibatnya
Pandev harus mendapat kartu merah karena memprotes keras hakim garis di
menit ke-85. Petaka kembali menghampiri Napoli jelang waktu normal
berakhir ketika Juan Camilo Zuniga mendapatkan kartu kuning kedua yang
artinya harus meninggalkan lapangan.
Keapesan Napoli belum berhenti. Setelah waktu pertandingan normal 90
menit berkahir, giliran pelatih Walter Mazzarri yang diusir keluar. Ia
dianggap terlalu keras memprotes wasit ketika mempersiapkan timnya untuk
babak perpanjangan waktu.
Dengan kondisi tim lawan yang compang-camping, Juventus akhirnya
menyegel kemenangan dengan skor 4-2 setelah pemain Napoli Christian
Maggio melakukan gol bunuh diri hasil dari umpan tarik Andrea Pirlo dan
sebiji gol dari Mirko Vucinic di menit 101.
Mazzarri teramat murka dengan kejadian ini sampai-sampai dia mengakui
dirinya hampir memilih untuk meninggalkan dunia sepakbola lantaran
kontroversi di laga tersebut.”Sempat ada momen di mana saya ingin
berhenti dari sepakbola, bahkan tidak sebatas murka di laga itu saja.
Valon Behrami jelas-jelas didorong dan harusnya berbuah penalti, wasit
Nicola Rizzoli tidak melihat. Wajar bila ada interpretasi pada
pertandingan, namun kami tidak dapat menerima jika aturan diterapkan
dalam dua cara yang berbeda,” ujar Mazzari.
Kontroversi ternyata menjangkit ke perhelatan kompetisi Serie A
2012/2013 kala di partai pembuka Parma menelan kekalahan 0-2 dari tim
penuh dosa Juventus. Dua gol dari pemain Juventus Stephan Lichtsteiner
dan Andrea Pirlo diwarnai beberapa kontroversi.
Kontroversi pertama adalah saat wasit memberi Juventus hadiah penalti
menyusul pelanggaran terhadap Lichtsteiner. Meski eksekusi tersebut tak
berujung gol, kubu Parma menilai penalti tak layak diberikan karena
Lichtsteiner sudah lebih dulu terperangkap offside sebelum akhirnya
dijatuhkan.
Hal lainnya adalah terkait gol kedua yang dibuat Pirlo. Tendangan
bebas yang dilepaskan Pirlo sebenarnya masih bisa ditangkap kiper
Antonio Mirate, tapi karena penyelamatan dianggap dilakukan di belakang
garis gawang wasit pun menyatakan gol telah terjadi. Pemain Parma sempat
melakukan protes, tapi wasit bertahan pada pendiiannya.
“Kami tidak akan memercikkan kontroversi dari kejadian ini dan semoga
semua orang bersikap seperti kami di musim ini,” ungkap Manajer Umum
Parma, Pietro Leonardi, pada La Gazzetta dello Sport dan dikutip dari
Football Italia.
“Bagaimanapun, saya bertanya pada diri saya sendiri bagaimana hakim
garis tidak melihat offside yang sangat jelas dari Lichtsteiner itu
sementara ofisial yang lain sama sekali tidak punya keraguan terkait gol
Pirlo?” lanjut dia.
Di pekan kedua, kontroversi kembali mengiringi hegemoni ‘ilegal’
Juventus. Kini giliran Udinese yang meradang. Kartu merah yang diterima
kiper Zeljko Brkic di menit ke-11 membuat La Vecchia Signora dengan
nyaman menggilas I Zebratte 4-1.
Kartu merah kontroversial itu berawal saat Pirlo memberi Sebastian
Giovinco umpan di area kotak penalti Udinese. Giovinco yang berhasil
melewati penjagaan dua bek lawan terpaksa dihentikan Brkic. Hadangan
portiere asal Serbia inilah yang menjadi awal petaka. Menurut pandangan
wasit Paolo Valeri,Brkic bukan menghadang bola tapi menangkap kaki
Giovinco sehingga layak diganjar kartu merah.
Kemarahan terlihat jelas di wajah para petinggi Udinese. Presiden
Giampaolo Pozzo menjadi sosok yang paling meradang dengan hukuman yang
dijatuhkan kepada Brkic. Menurut Pozzo, wasit tidak seharusnya
memberikan kartu merah terlalu dini saat pertandingan baru berjalan 11
menit. Selain itu, dalam pengamatan Pozzo, wasit (Valeri) juga telah dua
kali merugikan Udinese pada pertandingan di masa lalu.
“Kartu merah itu sama sekali tidak perlu. Sebelum membuat keputusan,
wasit memerlukan sedikit akal sehat dan keseimbangan. Setiap kali wasit
ini (Valeri) memimpin Udinese, dia selalu mengeluarkan pemain kami
(terakhir Gokhan Inler). Ada petinggi Serie A di sini. Saya bertanya,
mengapa mereka tidak mengevaluasinya dengan benar? Sebuah penalti bisa
dipahami. Tapi mengapa kartu merah?” ungkap Pozzo, dikutip Sky Sport
Italia.
Fakta menunjukkan, hilangnya satu kekuatan Udinese itu benar-benar
mampu dimanfaatkan para punggawa Juventus. Setelah Arturo Vidal berhasil
mengeksekusi penalti atas pelanggaran Brkic tadi, Mirko Vucinic
menambah keunggulan di akhir babak pertama dan Giovinco mencetak
sepasang gol pada menit ke-53 dan 71. Sementara Udinese hanya mampu
memperkecil ketertinggalan lewat gol Andrea Lazzari pada menit ke-78.
Ulah kontroversi Juventus memang tak ada habisnya. Bahkan sebelum
musim 2012/2013 ini bergulir mereka kembali mengibarkan bendera perang
kepada salah satu musuh bebuyutannya, Fiorentina. Seperti mengulang
insiden saat Juventus mencuri Sunday Oliseh dari AS Roma di awal musim
1999/2000, kali ini Bianconeri kembali memeragakan strategi perusak
transfer.
Penyerang Manchester United Dimitar Berbatov yang hampir pasti
berseragam ungu pada saat itu terkena bujuk rayu Juventus dan memutuskan
tidak terbang ke Firenze untuk menjalani tes medis bersama tim asuhan
Vincenzo Montella.
Keputusan Berbatov itu membuat kubu Fiorentina berang. Padahal mereka
sudah mendapatkan kesepakatan dengan MU serta janji lisan dari Berbatov
soal kepindahannya ke Firenze. “ACF Fiorentina mengumumkan kalau kami
gagal mendapatkan Dimitar Berbatov setelah kami mencapai persetujuan
dengan Manchester United dan janji lisan dari pemain yang bersangkutan
mengenai kontraknya,” tulis pernyataan Fiorentina yang bernada geram
“Klub asal Inggris itu sudah memberikannya izin tertulis untuk pergi
ke Florence agar bisa menjalani tes medis dan menandatangani kontrak.
Pemain yang ditemani agennya, berada dalam penerbangan ke Florence
dengan tiket yang kami bayarkan. Sayangnya ia tak pernah tiba di
Florence karena aksi serampangan serta arogan dari klub lain yang tidak
menghargai arti kejujuran, sportivitas serta etika olah raga yang
melakukan kebohongan di luar batas. Bagi kami terlepas dari
karakteristik serta kemampuan teknis pemain tersebut, kami pada titik
ini merasa senang ia tidak jadi bergabung ke Fiorentina karena ia tak
layak ada di kota kami, mengenakan seragam kami serta nilai-nilai yang
ada di dalamnya,” lanjut pernyataan tersebut.
Menariknya Juventus sendiri harus gigit jari karena aksi memalukan
tersebut. Berbatov justru lebih memilih Craven Cottage, markas klub asal
London Fulham sebagai pelabuhan berikutnya, bukan Turin. Namun beberapa
hari berselang, saat Berbatov akan menjalani tes medis bersama Fulham,
koran-koran di Italia mengklaim bahwa Berbatov menelepon Direktur
Olahraga Fiorentina, Daniele Prade, untuk meminta maaf karena membuat
mereka menunggu dan bertanya apakah mereka sudah mendatangkan penyerang
baru. Tanggapan dingin ditunjukkan Prade yang enggan memaafkan tindakan
Berbatov yang sangat memalukan.
Pemain Manchester United lainnya, Paul Pogba, juga pernah menjadi
‘bintang surat kabar’ ketika dia pindah ke (untuk kesekian kalinya saya
sebutkan) Juventus di awal musim yang sama. Manajer Sir Alex Ferguson
mengaku sangat kecewa dengan keputusan pemain muda potensialnya itu yang
enggan meneken kontrak baru dan lebih menerima pinangan Juventus.
“Kami kecewa terhadap Paul Pogba, tidak ada keraguan mengenai hal
itu, ia menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap klub ini. Kami
memang merasa ia bakal pergi, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda
sampai ia benar-benar pergi. Hal itu mengecewakan,” kata Ferguson.
Pelatih Setan Merah ini merasa heran dengan keputusan Pogba. Ia
menilai tindakan remaja berusia 19 tahun ini sebagai bentuk tidak tahu
diri. “Ini mengecewakan. Kalau mau jujur, saya melihat dia tidak
menunjukkan kepada kami sikap hormat,” manajer asal Skotlandia itu
menambahkan. Wah, jangan-jangan Bianconeri kembali menghalalkan segala
cara dan mengiming-imingi Pogba mimpi indah untuk mendatangkannya ke
Turin! Bisa saja, meski keputusan hengkang juga merupakan hak dari
pemain itu sendiri.
Namun jika ingin menggali perseteruan Manchester United dan Juventus
di atas lapangan, tak ada salahnya kita mundur ke babak semifinal Liga
Champions 1998/1999. Saat itu, MU yang digelayuti bayang-bayang
kekalahan di Liga Champions 1996/1997 dan 1997/1998 (agregat 2-0 dan 3-3
untuk Juve) serta di Piala UEFA 1976/1977 dan Piala Winners 1983/1984,
bertekad membalas kekalahan mereka yang disinyalir ada campur tangan
wasit.
Hasilnya, leg pertama di Old Trafford berakhir imbang 1-1 dimana
Antonio Conte dan Ryan Giggs menjadi pencetak gol bagi masing-masing
klub. Sementara di leg kedua, Andy Cole melengkapi gol yang sebelumnya
dicetak Roy Keane dan Dwight Yorke untuk memaksa laga berakhir 3-2 untuk
kemenangan Setan Merah. Dua gol Bianconeri sendiri dilesakan oleh ‘si
tukang diving’ Fillipo Inzaghi.
Ya, Pippo memang terlampau sering jatuh tidak wajar dalam laga itu.
Bek The Red Devils asal Belanda Jaap Stam mengaku sangat membenci aksi
tipu-tipu yang dilakukannya. Dalam otobiografinya, Stam sampai-sampai
menyebut Pippo dan adiknya -Simone, “Teletubbies”, tokoh boneka
anak-anak yang gampang jatuh. “Mereka itu (Inzaghi bersaudara) tidak
usah ditekling saja sudah jatuh sendiri,” kata Stam, sinis. Ironisnya,
Stam pernah menjadi rekan setim mereka berdua saat merumput di Lazio
(2001-2004) dan AC Milan (2004-2006).
Sementara setelah pertandingan itu berakhir, seakan tidak menerima
kekalahan para pemain Bianconeri langsung memasuki ruang ganti tanpa
berjabatan tangan dengan para pemain The Red Devils. Sebaliknya, kubu
Setan Merah bersorak kegirangan karena berhasil memecahkan mitos yang
menyebutkan klub Inggris tidak pernah mengalahkan klub Italia. Penggemar
mereka bahkan ada yang mengibarkan spanduk besar bertuliskan “Let The
Old Lady Cry” sambil meneriakan yel-yel berbau ejekan terhadap tifosi
Juventus.
Sukses Manchester United ini tentu saja mendapat sambutan luar biasa
di Inggris. Beberapa media setempat saat itu bahkan mengungkit-ungkit
hal-hal negatif yang ada di Serie A Italia. Dengan judul “The Seedy Side
of Serie A” atau “Sisi Gelap Serie A” sebuah majalah mengatakan,
kompetisi Serie A yang paling megah itu ternyata mempunyai sisi buruk.
Dikatakan bahwa pengaturan skor terjadi di tahun 70an dan awal 80an.
Banyak klub melakukan penggelapan pajak dan holiganisme makin
merajalela, terutama dari pihak Juventus. Secara khusus media massa
berpendapat bahwa di musim 1997/1998 terdapat banyak skandal di Serie A.
Yang paling mencolok adalah usaha wasit memberi jalan kepada Juventus
untuk meraih Scudetto dengan merugikan saingannya Inter Milan. Lalu,
secara sinis sebuah majalah menyebut musim 1997/1998 sebagai “Musim
Beracun”.
Sumber: Harian La Gazzetta dello Sport, Buku European Football-A
Fan’s Handbook, Buletin Hola! Fiorentina (Media Komunikasi Ultras
Viola), Tabloid Olahraga Bola, Majalah Liga Italia, Football Italia, Sky
Sport Italia,
sumber: http://cicakduren.wordpress.com/2012/01/09/54/
Home »
Liga Italia
» Sepakbola ‘Sakit’, Sepakbola Juventus
KEREN !!!
BalasHapusJUVE LADRI !!
juve itu tim sepakbola apa sekumpulan bajingan Italia ?
BalasHapusbangsat , vaffancullo pezzo di merda
Real story of juve,menyedihkannn
BalasHapussungguh indah kisah juve..
BalasHapusMerda JUVEEE
Begitulah penjahat tikus juve
BalasHapus