CHAPTER EIGHT
FLIGHT TO VICROTY : THE FIRST YEAR IN BLACK AND BLUE
Hal itulah yang selalu saya coba lakukan ketika tiba di Inter. Saya tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan mentalitas sepakbola, pola latihan, dan skema permainan yang baru. Namun, pelatih Italia pertama saya, Ottavio Bianchi, segera menaruh kepercayaannya pada saya. Bersama tiga pemain asing lain yang begitu hebat (Sebastian Rambert, Roberto Carlos, Paul Ince), Bianchi juga menunjuk saya, dan akhirnya, pada 27 Agustus 1995, saya memulai debut bersama Inter untuk pertandingan resmi. Lawan kami saat itu adalah Vicenza. Pertandingan berlangsung di Giuseppe Meazza, sebuah stadion legendaris, yang sebelumnya hanya dapat saya lihat di layar televisi. Selalu ada emosi yang luar biasa ketika bermain di lapangan itu. Semuanya berjalan dengan begitu baik : Inter menang 1-0 melalui gol dari Roberto Carlos yang juga sedang menjalani debut sama seperti saya. Hasil itu sepertinya menandakan musim yang menjanjikan, namun ternyata secara perlahan, konsistensi kami menurun. Teman seperjuangan saya, Rambert, yang tiba di Inter dengan ekspektasi besar, ternyata gagal untuk bertahan dengan tekanan yang ada, sampai akhirnya dia meninggalkan Milan. Sebagai seorang striker, sulit baginya untuk mengembangkan diri di Serie A, apalagi dia masih sangat muda. Selain daripada hal tersebut, Avioncito memiliki masalah dengan kebugaran fisiknya. Bagi saya, perpisahan dengan Rambert adalah sebuah pukulan besar karena kami memiliki kesamaan : sama-sama orang Argentina dan kami berdua sama-sama dipanggil untuk terjun dalam lingkungan sepakbola yg begitu keras. Sekarang, Sebastian adalah bagian dari masa lalu : setelah gantung sepatu, dia menjadi seorang pelatih. Dia menjadi asisten dari Ramon Diaz, salah satu pemain hebat yangg juga pernah ada untuk Inter. Sebelum Rambert pergi, Ottavio Bianchi, pelatih kami, dipecat pada akhir September menyusul beberapa hasil mengecewakan. Menggantikan tempat Bianchi adalah seorang pria kebangsaan Inggris, Roy Hodgson (setelah ditangani sementara oleh Luis Suarez). Saya harus memulai dari awal lagi. Bersama Hodgson, semua berubah, mulai dari cara latihan sampai gaya bermain, namun Hodgson juga menunjukkan sejak awal kalau dia mempercayai saya. Dan bersama Hodgson saya memulai perjalanan karir yang panjang dan menyenangkan : bersama Bianchi, saya bermain sebagai right-back dalam pola 5-3-2, sedangkan bersama Hodgson saya adalah gelandang kanan dalam formasi berlian. Bersama Hodgson pula saya berhasil mencetak gol pertama untuk Inter, ketika melawan Cremonese di San Siro pada 3 Desember 1995. Sebuah gol, adalah sesuatu yang sangat bernilai dan akan selalu saya ingat dengan rasa bangga (saya bukan seorang striker, dan bagi saya, membuat beberapa gol sama halnya seperti dianugerahi anak-anak). La Gazzetta dello Sport, sehari setelah pertandingan itu, memberi saya nilai 8. Dan akhirnya nama saya mulai menjadi lebih dikenal, tidak seperti dulu di mana tidak ada orang yang tahu siapa saya.
Lingkungan ini, bagi saya, mulai membaik seiring berjalannya bulan demi bulan, bahkan dengan para fans Inter, segala sesuatu mulai menuju pada kondisi terbaik. Saya bukan pemain yang paling menonjol, bukan striker yang dalam pikiran orang selalu membuat gol atau assist, namun perlahan saya mulai memenangkan hati penggemar. Satu penghargaan yang indah adalah ketika Curva Nord menyanyikan sebuah paduan suara yang masih bergema sampai sekarang : Tra i nerazzurri c’è / un giocatore che / dribbla come Pelé / daì Zanetti alè! – Di antara Nerazzurri, ada seorang pemain yang menggiring bola seperti Pele. Ayo Zanetti !! Mungkin membandingkan saya dengan Pele adalah sesuatu yang berlebihan, namun saya mengakui bahwa nyanyian itu selalu ada di hati saya, dan setiap kali Curva Nord menyanyikannya, saya selalu merinding.
Apabila dilihat dari sudut pandang saya secara pribadi, tahun pertama menjadi Interista bukanlah hal yang buruk. Namun, secara tim, segala sesuatu berjalan tidak sesuai harapan. Kami berada di peringkat 7 klasemen akhir, hasil yang begitu mengecewakan bagi sebuah tim yang secara historis selalu berkompetisi untuk memenangkan Scudetto. Bagaimanapun, itulah tahun pertama di bawah kepemimpinan Moratti, dan kita semua tahu bahwa sang presiden sedang merencanakan untuk membangun sebuah tim hebat yang mampu bertarung di semua lini.
Berselang satu tahun kemudian, keadaan menjadi semakin baik. Kekuatan tim mulai dibangun kembali dan menempati posisi atas klasemen dalam waktu yang lama meskipun gelar belum juga datang. Di level Eropa, kami harus melepas satu kesempatan besar. Bersama Hodgson, seorang pelatih yang sangat saya kagumi (meskipun di tengah rumor tidak benar yang selalu mengatakan bahwa dia adalah musuh pribadi saya), kami memainkan permainan sepakbola yang bagus dengan gaya latihan modern dan inovatif. Kenyataannya, kami mendapat dua kali tantangan dalam final Piala UEFA melawan tim Jerman, Schalke 04, pertandingan yang sampai saat ini masih menjadi penyesalan terbesar bagi saya. Kalah 1-0 di Jerman, namun kami berhasil menang dengan skor yang sama di San Siro. Ada banyak sekali peluang tendangan pada dua kali tambahan waktu, namun hasil tetap tidak berubah sehingga perlu diadakan adu penalti yang akhirnya mengukuhkan Schalke 04 sebagai juara. Selain kekecewaan karena kekalahan itu, ada ledakan emosi yang lain dari saya secara pribadi. Itu adalah saat di mana saya benar-benar merasa marah, emosi saya meluap di level tertinggi. Saya minta maaf kalau saat itu saya sangat arogan. Babak perpanjangan waktu tinggal menyisakan beberapa menit, adu penalti sudah menanti. Aliran bola dihentikan, hakim garis mengisyaratkan adanya pergantian pemain, dan yang muncul adalah nomor 4. Saat itu, saya tidak bisa menyembunyikan kemarahan. Saya meninggalkan lapangan, marah, lalu bertengkar hebat dengan Hodgson. Banyak orang berpendapat bahwa itu adalah puncak dari hubungan kami yang memang sudah bermasalah. Namun spekulasi itu tidak benar. Saya hanya merasa begitu lelah dengan adrenalin yang tinggi sepanjang pertandingan, apalagi saat itu saya masih muda, saya tidak mengerti mengapa Hodgson memutuskan untuk mengganti saya dengan Nicola Berti. Akhirnya, di ruang ganti, saya minta maaf dan segala sesuatu sudah diselesaikan dengan jabat tangan antara kami berdua.
Kekalahan di final, bagaimanapun, adalah seperti pil pahit yang sangat sulit untuk ditelan. Mimpi untuk berjaya di tingkat Eropa harus hilang karena jarak 11 meter dari gawang. Pertandingan final itu membuat kami semakin yakin dan membantu kami untuk mengerti bahwa Inter, dalam beberapa tahun kemudian, tetap dapat berbicara banyak baik di Italia maupun Eropa. Dan Moratti, pada musim panas berikutnya, tanpa mengeluarkan biaya, berhasil membawa ke Milan seseorang yang saat itu dianggap sebagai pemain terhebat di dunia : Ronaldo.
* * *
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !