CHAPTER THREE
¡Viva el fútbol!
Victor Hugo Morales
Buenos Aires, 22 Juni 1986. Rumah keluarga
Zanetti penuh suara gemuruh sorak-sorai. Ibu saya, Violeta, tidak tahu
lagi bagaimana harus bertahan di tengah 6 orang anak-anak yang semuanya
mengenakan scarf Argentina di leher. Kami duduk di depan televisi,
dengan posisi seperti barisan sebuah tim sepakbola. Di belakang, duduk
di atas kursi panjang, ada ibu dan ayah saya, Ignacio Rodolfo—yang
sering sekali berekspresi seperti orang kesurupan ketika sedang
menyaksikan sebuah pertandingan penting—dan kakak saya, Sergio. Di
depan, dengan posisi jongkok dan berbaring di lantai ada teman-teman
sepermainan saya, di mana kami bertumbuh bersama dalam sepakbola dan
sebagai sahabat : Cacho, Luis, Zurdo, Cristian, dan saya. Kami semua
mengenakan atribut Biancazzurro lengkap dari kepala sampai kaki.
Pertandingan penting ini disiarkan oleh
Mondovisione. Pertandingan ini pasti akan dibicarakan orang selama
beberapa hari : di bar, di pertokoan, di halaman rumah, di pasar.
Hanya satu hal yang ada di pikiran kami
orang Argentina saat itu : kalahkan Inggris!! Sedangkan pertandingan
yang lain dianggap tidak penting dan membosankan. Argentina-Inggris
bukanlah pertandingan biasa : ini adalah hari di mana kami akan membuat
perhitungan, membalas tindakan tidak pantas yang terjadi empat tahun
yang lalu. Kenangan dari War of Malvinas Islands yang sarat dengan
kematian itu masih sangat jelas ada di dalam ingatan kami. Orang Inggris
adalah musuh, tapi sekarang, kami dapat mengandalkan si kekar berrambut
keriting dengan nomor 10 di punggungnya : El Pibe Del Oro, si anak
emas, Diego Armando Maradona. Dia mengembalikan harapan kami.
“iVamos Argentina, vamos!” adalah
bagian refrain yang berkumandang dengan sangat meriah dari setiap rumah
ketika wasit meniup peluit awal dimulainya pertandingan. Ada perasaan
cemas lalu kamu berteriak, kamu bersorak. Rasanya seolah-olah ada jutaan
orang Argentina di Stadion Aztecam Meksiko. Kami mengikuti komentator
televisi dengan sangat serius, setiap kata dari Victor Hugo
Morales—komentator resmi dari timnas Argentina—menggambarkan dengan
jelas setiap kejadian yang terjadi di lapangan. Babak pertama berakhir
dengan kedudukan 0-0, namun hasil tersebut segera berubah ketika babak
kedua baru saja berjalan beberapa menit.
Orang-orang yang hanya menganggap bahwa
sepakbola tidak lebih dari 22 laki-laki muda berlari sambil menendang
bola, pasti tidak pernah menyaksikan moment seperti
pertandingan di bulan Juni sore hari ini. Dalam beberapa menit, 51
sampai 55, Argentina seperti berada di surga. Ini adalah pembalasan
kami. Ketika Diego mengelabui kiper Inggris, Peter Shilton, dia
menyentuh bola dengan tangannya, dan kami semua dibebaskan dari belenggu
mimpi buruk. Tangan Tuhan : penghinaan yang menyakitkan untuk Inggris,
namun bagi kami itu adalah balas dendam yang pantas untuk pelanggaran
yang pernah terjadi terhadap Malvinas. Setelah kedudukan 1-0, bola
kembali berada di tengah lapangan. Tidak ada waktu untuk kami kembali
duduk di lantai setelah selebrasi gila itu, dan kejadian si “tangan
Tuhan”—seperti yang ditulis oleh Osvaldo Soriano—secara pasti menjadi
mitos bagi kami orang Argentina. Diego mulai berlari dari tengah
lapangan, menggiring bola melewati pemain belakang Inggris, mengecoh
Shilton dan 2-0 !!! Semua orang di rumah saya menggila, kami luar biasa
bahagia. Dan gol dari Maradona, gol paling indah dalam sejarah
sepakbola, layak untuk mendapat penghargaan sebagai salah satu
pertunjukkan seni yang indah di atas lapangan hijau. Entah sudah berapa
kali saya menyaksikan pertandingan itu, dan berapa kali saya juga
memimpikan untuk bisa menjadi bagian dari kejadian yang serupa : berlari
melewati semua pemain, melompati kiper sampai akhirnya menyarangkan
bola di dalam gawang. “¿De qué planeta viniste? ¡Para dejar en el
ingles fireplace so! ¡Para que sea el país a apretado Puno, integrity
por Argentina! … Argentina 2 – Inglaterra 0.” Berasal dari planet
manakah sehingga kamu dapat mengalahkan Inggris? Karena sambil
mengepalkan tangan, kami semua meneriakkan : Argentina 2, Inggris 0 !!!!
Komentar Morales tersebut menjadi tema untuk beberapa tahun itu.
Setelah mengalami masa-masa suram, ketika
bagi orang Argentina rasanya sulit sekali untuk meninggalkan rumah,
Argentina menemukan kembali jalan menuju kebahagiaan. Pencapaian
Presiden Raul Alfonsin pada tahun 1983 memulihkan kepercayaan diri
negara kami, dan sepakbola berperan sebagai kunci pemulihan tersebut
setelah tahun-tahun yang sulit karena kepemimpinan diktator. Pada tahun
1978, selama masa rezim totalitarian, memenangkan Piala Dunia adalah
sebuah anugerah bagi kami semua. Saat itu saya masih kecil, tapi saya
ingat betul selama beberapa hari itu setiap orang merasa lebih bahagia :
terima kasih kepada sepakbola, karenamu kami dapat sejenak melupakan
bermacam-macam masalah yang menghimpit kami. Kemenangan tahun 1986,
selain merupakan awal dimulainya regenerasi, juga menjadi puncak
kebahagiaan kami semua orang Argentina. Demokrasi akhirnya kembali
setelah tiga tahun lamanya, dan Maradona adalah orang yang mampu
merekatkan kembali hubungan antara satu orang dengan yang lain. Dieguito
menjadi simbol kehidupan dan keselarasan, gambaran dari suatu negara
yang selama bertahun-tahun harus menanggung penderitaan dan penganiayaan
namun akhirnya mampu membebaskan diri dan mengembalikan kemerdekaan
yang telah lama hilang.
Perayaan kemenangan atas Inggris berlangsung
selama berminggu-minggu. Ketika mengetahui Argentina menang, tidak ada
seorangpun yang mau berangkat bekerja keesokan harinya. Hari itu menjadi
hari libur nasional, bahkan El Pais, surat kabar terbesar di Argentina,
ikut menghentikan aktivitas kerja. Orang Argentina memang seperti itu,
semangat kami sangat menggebu-gebu, dan kami mau melakukan apapun untuk
kejayaan negara kami. Setelah kesuksesan mengatasi Inggris, Buenos Aires
berubah menjadi lautan massa : kumpulan orang yang bersatu karena
alasan yang sama, dan segala terima kasih untuk si rambut keriting yang
telah mencetak dua gol yang akan selalu diingat dalam sejarah sepakbola.
Namun kenangan yang terbaik adalah kemenangan puncak 3-2 atas Jerman
yang saat itu dibela oleh Matthaus, dengan gol penentu dicetak oleh
bintang Independiente, Jorge Burruchaga. Malam itu kami pergi merayakan
kemenangan di Obelisk (sebuah monument di Buenos Aires) : semua orang
Buenos Aires ada di sana. Anak-anak, orang dewasa, kakek-nenek, ibu
rumah tangga, semuanya. Semua orang berada dalam suasana gegap gempita,
mobil-mobil dihiasi dengan warna biru putih, kaos dengan nomor 10
menjamur di mana-mana, kembang api, komidi putar. Hari itu bahkan lebih
meriah dari hari libur nasional lainnya : ini adalah kebebasan dan
dimulainya era baru bagi Argentina.
Selama beberapa minggu radio, televisi,
surat kabar terus menerus mengabarkan kemenangan itu, seolah-olah waktu
sedang berhenti. Kekuatan sepakbola. Saya masih ingat ketika di jalan
orang-orang meneriakkan : “¡Campeones!” dalam lautan antusiasme yang menjangkiti semua orang, miskin dan kaya, karyawan dan guru, pegawai pelabuhan sampai buruh.
Dan saya, di suatu malam, bermimpi. Saya
bermimpi ingin menjadi Diego, menggiring bola melalui semua pemain
lawan, melompati kiper dan mencetak gol, lalu orang-orang mengelu-elukan
nama saya. Saya memimpikannya selama dua tahun, sampai akhirnya saya
mendapati jalan buntu bagi karir saya. Ketika masih berumur 15 tahun,
setelah berhasil merasakan bermain untuk Independiente junior, tim
favorit saya, saya mendapati diri saya berjalan keluar. Ditolak.
Dibuang. Dieliminasi. Tidak ada harapan bagi saya untuk menjadi bagian
di antara bintang-bintang divisi satu liga Argentina. Alasannya : “Anak
laki-laki ini terlalu lemah, terlalu kecil, terlalu rapuh. Dia tidak
memiliki harapan yang bagus untuk berkarir sebagai pemain sepakbola.”
Saya tidak mau lagi bermain sepakbola selama setahun, bahkan hanya
sekedar untuk bersenang-senang dengan teman-teman pun tidak saya
lakukan.
* * *
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !