CHAPTER SEVEN
GIACINTO
Interisti akan memberitahumu bahwa tidaklah
cukup bermain selama bertahun-tahun untuk sebuah tim. Tidaklah cukup
dengan mencium seragam seusai mencetak sebuah gol, tidaklah cukup hanya
dengan menyampaikan kata-kata yang membuat penggemar begitu bahagia.
Menjadi seorang penggemar adalah sebuah keyakinan. Saya kira ini lebih
dari sekedar gaya hidup. Saya merasa dapat dengan cepat mencintai Inter,
karena di dalam klub ini ada nilai dan ide-ide yang tidak dapat
dijumpai di mana pun, dan saya sependapat.
Inter adalah klub yang berbeda. Inter
tidaklah retoris. Inter selalu berjalan melawan arus, tidak pernah
melibatkan diri dalam permainan kekuasaan yang bersifat licik. Inter
adalah klub yang transparan, karena apa yang sedang terjadi selalu dapat
dilihat tanpa perlu ditutup-tutupi, selama memang tidak ada hal yang
bersifat rahasia. Saya mengerti hal-hal tersebut sejak pertama kali
menginjakkan kaki di Appiano Gentile. Dan saya sungguh berterima kasih
pada seorang guru yang telah menyadarkan saya : Giacinto Facchetti,
kapten dari semua kapten, seorang teladan, sebuah symbol, segala sesuatu
yang ada dalam dirinya adalah luar biasa.
Memiliki Giacinto sebagai pendamping,
pembimbing, dan seorang teman adalah anugerah bagi saya. Dia mengajarkan
pada saya apa arti mengenakan seragam Inter, dan bahwa menjadi
Interista adalah sesuatu yang lebih dari sekedar menjadi seorang
penggemar biasa; dia mengajarkan pada saya bahwa dalam sepakbola ya,
hasil adalah sesuatu yang penting, namun ada nilai-nilai lain yang lebih
penting daripada sekedar hasil : kesetiaan, permainan yang bersih,
kejujuran, dan rasa menghormati terhadap pendukung maupun lawan.
Karakter-karakter dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemain Inter,
dan Giacinto, setiap hari selalu menyampaikannya pada kami, bahkan
ketika semuanya seolah-olah sedang berbalik awah untuk melawan kami.
“Baik, cerdas, berani, tidak pernah
memberikan reaksi yang berlebihan terhadap sesuatu. Sekali lagi, terima
kasih telah membawa Inter pada kejayaan”. Kata-kata itulah yang
disampaikan presiden Moratti untuk mengenang Giacinto setelah
kematiannya. Hari yang begitu menyedihkan, 4 September 2006. Itu adalah
hari di mana Inter kehilangan seorang pejuang dan pemimpin. Dan hari di
mana seluruh dunia sepakbola, kehilangan sosok seorang lelaki yang tidak
hanya luar biasa di tengah lapangan, namun juga dalam kesehariannya.
Nilai-nilai, semangat, dan dedikasi yang
selama bertahun-tahun telah Giacinto berikan untuk membela Inter,
bagaimanapun, akan selalu tinggal tetap. Bahkan hari ini, bagi semua
Interisti, Giacinto akan selalu ada meskipun raganya sudah tidak lagi
bersama kami. Bukan suatu kebetulan jika seusai meraih kemenangan,
dedikasi pertama selalu diberikan untuk Giacinto. Bukan suatu kebetulan
jika sampai saat ini masih diberikan satu penghargaan tersendiri untuk
Giacinto. Bukan suatu kebetulan jika Giacinto dianggap sebagai contoh
dan teladan untuk diikuti. Karena Giacinto telah dan akan selalu menjadi
citra dari Inter.
Giacinto adalah seorang hombre vertical,
seperti yang kami artikan di Argentina, yaitu seorang lelaki perkasa
yang selalu menyerukan sikap saling menghormati dan menghargai.
Seseorang yang enggan membuang waktunya dengan mengeluarkan terlalu
banyak kata-kata, dan enggan untuk terlalu banyak disorot. Seorang
lelaki pemberani, jujur, dan tulus. Seseorang yang tidak pernah
menundukkan kepalanya di depan para penguasa, karena menghargai dan
menaati setiap peraturan yang ada adalah cukup baginya; hal yang dia
pelajari semenjak kecil. Giacinto memiliki sebuah buku harian, dan pada
halaman pertama dia menulis satu kalimat dari Tolstoy : “The more we believe our existence depends solely on our actions, the more this becomes possible.”
Saya merasa bangga mengenakan ban kapten
Inter, khususnya ketika tahu bahwa ban yang sama pernah dipakai oleh
seseorang seperti Giacinto. Kepuasan terbesar ketika saya dapat menjadi
penerus Giacinto. Tidak ada pujian lebih tinggi yang layak diberikan
pada saya. Menjadi penerus Facchetti berarti bukan sekedar menampilkan
sosoknya di dalam lapangan, namun juga ketika di luar lapangan,
menunjukkan bahwa karir seorang pesepakbola tidak hanya diukur dari
banyaknya trofi, namun di atas semuanya adalah kejujuran, kegigihan, dan
karisma.
Sebuah hubungan yang erat terjalin dengan
cepat di antara kami. Kami dapat saling mengerti satu dengan yang lain.
Giacinto sering bercerita pada saya mengenai pertandingan antara Inter
dan Independiente pada tahun 1960an. Dia telah turun bermain ke
lapangan. “Sungguh pertandingan yang luar biasa, khususnya ketika
berkunjung ke Argentina.” katanya mengenang situasi panas di Doble
Visera. Saat itu adalah tahun-tahun di mana kamera belum memonopoli
lapangan hijau, ketika hampir semua hal diperbolehkan untuk menghentikan
lawan. Dan pada saat itu, pemain Argentina terkenal dengan karakternya
yang sedikit kasar, begitu juga dengan ucapannya. Penggemar pun tidaklah
lebih baik : melempar jeruk ke lapangan, menghina, mengancam. Saya lalu
tersadar dan mengerti Inter yang sesungguhnya, khususnya apa arti
menjadi Interisti : lambang, sejarah, kebanggaan, namun lebih dari semua
itu adalah rasa memiliki, cinta, dan gairah yang besar.
Selama bertahun-tahun, Giacinto adalah
pemberi semangat bagi semua pemain Inter. Dia selalu memberikan motivasi
dan kata-kata yang baik pada setiap orang, dia mengerti cara memecahkan
situasi yang sulit dan bagaimana memacu semangat seseorang untuk selalu
dapat memberikan lebih. Dia selalu berada di samping setiap pemain,
membantu kami dalam segala keadaan; Giacinto mengajarkan pada kami untuk
tidak menyerah dalam masa-masa sulit dan tidak menjadi besar kepala
ketika segala sesuatu berjalan baik.
Berita mengenai sakit yang diderita Giacinto
adalah sebuah pukulan besar, seperti sambaran petir dari langit yang
biru. Berita itu muncul ketika Inter sedang memulihkan kondisi, di mana
pada tahun-tahun sebelumnya, Inter seperti tersisih. Giacinto menjalani
bulan-bulan terakhir kehidupannya tetap dengan kerendahan hati. Dia
meminta untuk dibiarkan tinggal dalam ketenangan, dia tidak ingin berita
mengenai sakitnya digembar-gemborkan oleh surat kabar dan televisi.
Saya menengok Giacinto berkali-kali ke rumah sakit, berharap akan ada
sebuah keajaiban. Semua orang, mulai dari para pemain sampai penjaga
gudang berkumpul menemaninya. Pada saat itu, yang ada di pikiran kami
adalah bagaimana caranya melakukan sesuatu untuk Giacinto. Kesempatan
itu akhirnya tiba pada 27 Agustus 2006, ketika ajang Piala Super Italia
melawan Roma. Penyakit boleh saja menggerogoti Giacinto, namun sampai
akhir dia tetao memberikan waktunya untuk Inter. Satu hari sebelum
pertandingan itu, saya pergi menemuinya di rumah sakit dan berjanji : “Giacinto, aku berjanji bahwa besok aku akan kembali dengan membawa trofi”.
Saya memegang kata-kata saya sendiri. Tantangan melawan Roma bukanlah
hal yang mudah; sesuatu yang ajaib terjadi selama 120 menit
pertandingan. Kami tertinggal 3-0, kemudian di babak kedua, semuanya
berubah. Kami mengubah diri kami, kami menjadi tim yang solid, dan
berjuang untuk setiap kesempatan. Dua gol Vieira dan Crespo membawa kami
untuk menyamakan kedudukan menjadi 3-3, kemudian pada perpanjangan
waktu Figo mengunci kemenangan dan memberi kami trofi itu. Saya tidak
dapat menjelaskan dengan pasti bagaimana hal aneh itu bisa terjadi
setelah babak pertama yang begitu buruk : yang saya tahu adalah setiap
pemain di lapangan malam itu bermain tidak hanya demi memenangkan trofi,
tapi juga untuk membawa trofi tersebut pada Giacinto.
Hari berikutnya, saya pergi ke rumah sakit
dengan membawa trofi. “Ini untukmu”, kata saya. Giacinto tersenyum
dengan sisa kekuatan yang masih ada padanya. Senyum itu tidak akan
pernah saya lupakan. Senyum itu masih menerangi dan tinggal bersama
saya, selalu dan di manapun.
* * *
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !